28 Juli 2009

1.10 Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang

1.10 Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang

HARAM dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri menyeluruh dan
mengusir. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain
orang Arab (ajam) tetapi halal buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang
dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal, buat orang kulit putih. Tidak
ada sesuatu rukhsah yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu
golongan manusia, yang dengan menggunakan nama rukhsah (keringanan)
itu mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka
yang berbuat demikian itu sering menamakan dirinya pendeta, pastor, raja
dan orang-orang suci. Bahkan tidak seorang muslim pun yang mempunyai
keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram untuk
orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Sekali-kali tidak akan begitu! Allah adalah Tuhannya orang banyak,
syariatNya pun untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan
ketetapan undang-undangnya, berarti halal untuk segenap ummat manusia.
Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini
berlaku sampai hari kiamat. Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram,
baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam; baik yang
dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku
untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan kedudukannya. Demikianlah
yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya.
Kata Rasulullah dalam pengumumannya itu:
"Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang
mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (Riwayat Bukhari)
Di zaman Nabi sudah pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang
dilakukan oleh seorang Islam, tetapi ada suatu syubhat sekitar masalah
seorang Yahudi dan seorang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang
Islam melepaskan tuduhan kepada seorang Yahudi dengan beberapa data
yang dibuatnya dan berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap
rekannya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya, sehingga dia
bermaksud untuk mengadukan hat tersebut kepada Nabi dengan suatu
keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman.
Waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan
orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Rasulullah s.a.w. mencela orang
Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
Wahyu Allah berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu kitab
dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia
dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat.
Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah
Maha Pengampun dan betas-kasih. Dan janganlah kamu
membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena
sesungguhnya Allah tidak suka berkhianat dan berbuat dosa.
Mereka bersembunyi (berlindung) kepada manusia, tetapi tidak
mau bersembunyi kepada Allah, padahal Dia selalu bersama
mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam,
yaitu sesuatu yang tidak diridhai dari perkataan itu, dan Allah
maha meliputi semua apa yang mereka perbuat. Awaslah! Kamu
ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam
kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela
mereka dari hukuman Allah kelak di hari kiamat? Atau siapakah
yang akan mewakili untuk (menghadapi urusan) mereka itu?"
(an Nisa': 105-109)
Pernah juga terjadi suatu anggapan dalam agama Yahudi, bahwa riba itu
hanya haram untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada orang Yahudi
yang lain. Tetapi berhutang kepada lain Yahudi tidaklah terlarang.
Demikianlah seperti yang tersebut dalam Ulangan 23: 19-20: "Maka tak
boleh kamu mengambil bunga daripada saudaramu, baik bunga uang, baik
bunga makanan, baik bunga barang sesuatu yang dapat makan bunga. Maka
daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada
saudaramu tak boleh kamu mengambil bunga."
Sifat mereka yang seperti ini diceritakan juga oleh al-Quran, di mana mereka
membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu
dipandangnya tidak salah dan tidak berdosa.
Al-Quran mengatakan:
"Di antara mereka ada beberapa orang yang apabila diserahi
amanat dengan satu dinar pun, dia tidak mau menyampaikan
amanat itu kepadamu, kecuali kalau kamu terus-menerus
berdiri (menunggu); yang demikian itu karena mereka pernah
mengatakan. tidak berdosa atas kami (untuk memakan hak)
orang-orang bodoh itu, dan mereka juga berkata dusta atas
(nama) Allah, padahal mereka sudah mengarti." (Ali-Imran: 75)
Benar mereka telah berdusta atas nama Allah, yaitu dengan bukti, bahwa
agama Allah itu pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara suatu
kaum terhadap kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap
rasuINya.
Dan yang cukup kita sesalkan ialah, bahwa perasaan Israiliyah inilah yang
merupakan kejahatan biadab, yang kiranya tidak patut untuk dinisbatkan
kepada agama Samawi (agama Allah). Sebab budi yang luhur bahkan budi
yang sebenarnya mestinya harus mempunyai ciri yang menyeluruh dan
universal, sehingga tidak terjadi anggapan halal untuk ini tetapi haram untuk
itu.
Perbedaan prinsip antara kita dan golongan badaiyah (primitif) hanyalah
dalam hal luasnya daerah budi/akhlak. Bukan ada atau tidak adanya budi itu.
Sebab soal amanat misalnya, menurut anggapan mereka dipandang sebagai
suatu sikap yang baik dan terpuji, tetapi hanya khusus antar putera sesuatu
kabilah. Kalau sudah keluar dari kabilah itu atau lingkungan keluarga, boleh
saja berbuat khianat; bahkan kadang-kadang dipandang siasat baik atau
sampai kepada wajib.
Pengarang Qishshatul Hadharah menceriterakan, bahwa semua golongan
manusia hampir ada persesuaian dalam kepercayaan yang menunjukkan
mereka lebih baik daripada yang lain. Misalnya bangsa Indian di Amerika,
mereka menganggap dirinya sebagai hamba Tuhan yang terbaik. Tuhan
menciptakan mareka ini sebagai manusia yang berjiwa besar khusus untuk
dijadikan sebagai tauladan di mana manusia-manusia lainnya harus menaruh
hormat kepadanya.
Salah satu suku Indian itu ada yang menganggap dirinya sebagai Manusia
yang tidak ada taranya. Dan suku yang lain beranggapan, bahwa dirinya itu
manusia diantara sekian banyak manusia. Suku Carbion mengatakan pula
hanya kamilah yang disebut manusia sesungguhnya dan seterusnya.
Kesimpulannya, bahwa manusia primitif didalam mengatur cara
pergaulannya dengan golongan lain tidak menggunakan jiwa etika yang
lazim seperti yang biasa dipakai dalam berhubungan dengan kawan
sesukunya.
Ini merupakan bukti nyata, bahwa etika (akhlak) merupakan fungsi yang
paling ampuh guna memperkukuh jamaah dan memperteguh kekuatannya
untuk menghadapi golongan lain. Oleh karena itu persoalan etika dan
larangan tidak akan dapat berlaku (sesuai) melainkan untuk penduduk
golongan itu sendiri. Untuk golongan lain, tidak lebih daripada tamu. Justeru
itu boleh saja mereka mengikuti tradisi golongan tersebut sekedarnya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHLAN WA SAH LAN IN My WEB

Saya memang bukan orang kaya,
Bisa jadi saya memang orang miskin
Tapi biarlah saya miskin harta asal kami kaya hati
Biarlah saya tidak kaya harta asal jangan miskin hati
Dengan hati ini saya mengabdi, mengemban amanah
Dengan hati ini saya mendedikasikan diri pada jalan dakwah
Dengan hati ini saya berjanji untuk tidak mengingkari
Dengan hati ini saya memohon pada ILLAHI,
Semoga diberkahi dan di ridloi
Di situs inilah saya gambar kan cita-cita kami,
Mengoftimalkan kemampuan diri guna mencapai
li ‘ila’i kalimatillah di muka bumi ini
Silahkan teliti, kami akan sangat senang dikoreksi.

Wassalam dari kami
sie Rohani RW 29-CIBEUREUM

Info buku

Info buku
Ini yang Anda Butuhkan

Amaliah Yaumin Fihayati

A.Y.F fhoto colection