28 Juli 2009

Catatan kaki Bab Pertama

Catatan kaki Bab Pertama

1. Ali-Imran.
2. Maryam.
3. Qawaidun Nuraniyah al-Fiqhiyah oleh Ibnu Tarmiyah, hal 112-113.
4. 'Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika
bersanggama.
5. Al-Um 7:317.
6. Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa
mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya
setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan
mereka tidak qath'i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat al-
Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.
7. Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan
ini "haram" yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.
8. Tiga batang kayu untuk dipakai mengetahui nasib, dengan jalan
mengundinya. Tiga batang kayu itu masing-masing diberi tanda (1)
tertulis "aku diperintah Tuhan", (2) tertulis "aku dilarang Tuhan", (3)
kosong, (Lihat Tafsir al-Maraghi ayat 3 al-Maidah).
9. Ighatsatul Lahfan 1: 348.
10.Tersebut dalam Ighatsatul Lahfan juz 1: 348. Pengarang kitab ini
berkata, bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Abdillah bin Bath-thah
dengan sanad yang baik. Dan yang sama disahkan juga oleh Tarmizi.
11.Hadis ini dipetik dari kitab Ighatsatul Lahfan halaman 352 juz 1 oleh
Ibnul Qayim

1.11 Keadaan Terpaksa Membolehkan Yang Terlarang

1.11 Keadaan Terpaksa Membolehkan Yang Terlarang

ISLAM mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram pun
diperkeras dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada
yang haram itu, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi.
Justeru itu setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya
haram; dan apa yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram
juga; dan setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram, hukumnya haram.
Begitulah seterusnya seperti yang telah kami sebutkan prinsip-prinsipnya di
atas.
Akan tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta
kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu
Islam kemudian menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi
itu, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justeru
itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan
melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri
dari kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu-persatu makanan
yang diharamkan, seperti: bangkai, darah dan babi:
"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja
dan tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih."
(al-Baqarah: 173)
Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut
masalah makanan-makanan yang haram.
Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu
prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu: "Keadaan terpaksa membolehkan
yang terlarang."
Tetapi ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si
pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan
kata-kata ghaira baghin wala 'aadin (tidak sengaj 3 dan tidak melewati
batas).
Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak
sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu
maksudnya: tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula,
yaitu: adh-dharuratu tuqaddaru biqadriha (dharurat itu dikira-kirakan
menurut ukurannya). Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh
tunduk kepada keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu
saja kepada keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada
keadaan dharurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap
mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya.
Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau
mempermudah dharurat.
Islam dengan memberikan perkenan untuk melakukan larangan ketika
dharurat itu, hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu
dan kaidah-kaidahnya yang bersifat kulli (integral). Dan ini adalah
merupakan jiwa kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran dan
memperingan, seperti cara yang dilakukan oleh ummatummat dahulu.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firmanNya:
"Allah berkehendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan Ia
tidak menghendaki memberikan beban kesukaran kepadamu."
(al-Baqarah: 185)
"Allah tidak menghendaki untuk memberikan kamu sesuatu
beban yang berat, tetapi ia berkehendak untuk membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmatNya kepadamu supaya
kamu berterimakasih." (al-Maidah: 6)
"Allah berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu,
karena manusia itu dijadikan serba lemah." (an-Nisa': 28)

1.10 Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang

1.10 Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang

HARAM dalam pandangan syariat Islam mempunyai ciri menyeluruh dan
mengusir. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain
orang Arab (ajam) tetapi halal buat orang Arab. Tidak ada sesuatu yang
dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal, buat orang kulit putih. Tidak
ada sesuatu rukhsah yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu
golongan manusia, yang dengan menggunakan nama rukhsah (keringanan)
itu mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka
yang berbuat demikian itu sering menamakan dirinya pendeta, pastor, raja
dan orang-orang suci. Bahkan tidak seorang muslim pun yang mempunyai
keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram untuk
orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Sekali-kali tidak akan begitu! Allah adalah Tuhannya orang banyak,
syariatNya pun untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan
ketetapan undang-undangnya, berarti halal untuk segenap ummat manusia.
Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini
berlaku sampai hari kiamat. Misalnya mencuri, hukumnya adalah haram,
baik si pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam; baik yang
dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku
untuk setiap pencuri betapapun keturunan dan kedudukannya. Demikianlah
yang dilakukan Rasulullah dan yang dikumandangkannya.
Kata Rasulullah dalam pengumumannya itu:
"Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang
mencuri, pasti akan kupotong tangannya." (Riwayat Bukhari)
Di zaman Nabi sudah pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang
dilakukan oleh seorang Islam, tetapi ada suatu syubhat sekitar masalah
seorang Yahudi dan seorang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang
Islam melepaskan tuduhan kepada seorang Yahudi dengan beberapa data
yang dibuatnya dan berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap
rekannya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya, sehingga dia
bermaksud untuk mengadukan hat tersebut kepada Nabi dengan suatu
keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman.
Waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan
orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Rasulullah s.a.w. mencela orang
Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
Wahyu Allah berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu kitab
dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia
dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat.
Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah
Maha Pengampun dan betas-kasih. Dan janganlah kamu
membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena
sesungguhnya Allah tidak suka berkhianat dan berbuat dosa.
Mereka bersembunyi (berlindung) kepada manusia, tetapi tidak
mau bersembunyi kepada Allah, padahal Dia selalu bersama
mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam,
yaitu sesuatu yang tidak diridhai dari perkataan itu, dan Allah
maha meliputi semua apa yang mereka perbuat. Awaslah! Kamu
ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam
kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela
mereka dari hukuman Allah kelak di hari kiamat? Atau siapakah
yang akan mewakili untuk (menghadapi urusan) mereka itu?"
(an Nisa': 105-109)
Pernah juga terjadi suatu anggapan dalam agama Yahudi, bahwa riba itu
hanya haram untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada orang Yahudi
yang lain. Tetapi berhutang kepada lain Yahudi tidaklah terlarang.
Demikianlah seperti yang tersebut dalam Ulangan 23: 19-20: "Maka tak
boleh kamu mengambil bunga daripada saudaramu, baik bunga uang, baik
bunga makanan, baik bunga barang sesuatu yang dapat makan bunga. Maka
daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada
saudaramu tak boleh kamu mengambil bunga."
Sifat mereka yang seperti ini diceritakan juga oleh al-Quran, di mana mereka
membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu
dipandangnya tidak salah dan tidak berdosa.
Al-Quran mengatakan:
"Di antara mereka ada beberapa orang yang apabila diserahi
amanat dengan satu dinar pun, dia tidak mau menyampaikan
amanat itu kepadamu, kecuali kalau kamu terus-menerus
berdiri (menunggu); yang demikian itu karena mereka pernah
mengatakan. tidak berdosa atas kami (untuk memakan hak)
orang-orang bodoh itu, dan mereka juga berkata dusta atas
(nama) Allah, padahal mereka sudah mengarti." (Ali-Imran: 75)
Benar mereka telah berdusta atas nama Allah, yaitu dengan bukti, bahwa
agama Allah itu pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara suatu
kaum terhadap kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap
rasuINya.
Dan yang cukup kita sesalkan ialah, bahwa perasaan Israiliyah inilah yang
merupakan kejahatan biadab, yang kiranya tidak patut untuk dinisbatkan
kepada agama Samawi (agama Allah). Sebab budi yang luhur bahkan budi
yang sebenarnya mestinya harus mempunyai ciri yang menyeluruh dan
universal, sehingga tidak terjadi anggapan halal untuk ini tetapi haram untuk
itu.
Perbedaan prinsip antara kita dan golongan badaiyah (primitif) hanyalah
dalam hal luasnya daerah budi/akhlak. Bukan ada atau tidak adanya budi itu.
Sebab soal amanat misalnya, menurut anggapan mereka dipandang sebagai
suatu sikap yang baik dan terpuji, tetapi hanya khusus antar putera sesuatu
kabilah. Kalau sudah keluar dari kabilah itu atau lingkungan keluarga, boleh
saja berbuat khianat; bahkan kadang-kadang dipandang siasat baik atau
sampai kepada wajib.
Pengarang Qishshatul Hadharah menceriterakan, bahwa semua golongan
manusia hampir ada persesuaian dalam kepercayaan yang menunjukkan
mereka lebih baik daripada yang lain. Misalnya bangsa Indian di Amerika,
mereka menganggap dirinya sebagai hamba Tuhan yang terbaik. Tuhan
menciptakan mareka ini sebagai manusia yang berjiwa besar khusus untuk
dijadikan sebagai tauladan di mana manusia-manusia lainnya harus menaruh
hormat kepadanya.
Salah satu suku Indian itu ada yang menganggap dirinya sebagai Manusia
yang tidak ada taranya. Dan suku yang lain beranggapan, bahwa dirinya itu
manusia diantara sekian banyak manusia. Suku Carbion mengatakan pula
hanya kamilah yang disebut manusia sesungguhnya dan seterusnya.
Kesimpulannya, bahwa manusia primitif didalam mengatur cara
pergaulannya dengan golongan lain tidak menggunakan jiwa etika yang
lazim seperti yang biasa dipakai dalam berhubungan dengan kawan
sesukunya.
Ini merupakan bukti nyata, bahwa etika (akhlak) merupakan fungsi yang
paling ampuh guna memperkukuh jamaah dan memperteguh kekuatannya
untuk menghadapi golongan lain. Oleh karena itu persoalan etika dan
larangan tidak akan dapat berlaku (sesuai) melainkan untuk penduduk
golongan itu sendiri. Untuk golongan lain, tidak lebih daripada tamu. Justeru
itu boleh saja mereka mengikuti tradisi golongan tersebut sekedarnya saja.

1.9 Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

1.9 Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram

SALAH satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu: Ia tidak
membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram,
bahkan yang halal dijelaskan sedang yang haram diperinci.
FirmanNya:
"Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa
yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun
yang sudah jelas, samasekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya,
selama masih dalam keadaan normal.
Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal dan haram.
Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak
begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi
mungkin karena tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin karena tidak
jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu
peristiwa.
Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara'
(suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat
itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang
masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk
berbuat kepada yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz
dzara'i) yang sudah kita bicarakan terdahulu. Disamping itu cara tersebut
merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih jauh serta
penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.
Dasar pokok daripada prinsip ini ialah sabda Nabi yang mengatakan:
"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di
antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas
(syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk
bagian yang halal ataukah yang haram? Maka barangsiapa yang
menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan
kehormatannya, maka dia akan selamat,. dan barangsiapa
mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan
iatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala
kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan
jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai
daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu
ialah semua yang diharamkan." (Riwayat Bukhari, Muslim dan
Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).

1.8 Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram

1.8 Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram

ISLAM memberikan penghargaan terhadap setiap hal yang dapat mendorong
untuk berbuat baik, tujuan yang mulia dan niat yang bagus, baik dalam
perundang-undangannya maupun dalam seluruh pengarahannya. Untuk
itulah maka Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat
(ikhlas karena Allah), dan setiap orang dinilai menurut niatnya."
(Riwayat Bukhari)
Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk
berbakti dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan
dengan niat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan memperkuat tubuh
supaya dapat melaksanakan kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah
dan ummatnya, maka makan dan minumnya itu dapat dinilai sebagai amal
ibadah dan qurbah.
Begitu juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada isterinya
dengan niat untuk mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dan
keluarganya dari perbuatan maksiat, maka pelepasan syahwat tersebut
dapat dinilai sebagai ibadah yang berhak mendapat pahala. Untuk itu pula,
maka Rasulullah s.a.w. pernah menyabdakan:
"Pada kemaluanmu itu ada sadaqah. Para sahabat kemudian
bertanya: Apakah kalau kita melepaskan syahwat juga
mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Apakah kalau dia lepaskan
pada yang haram, dia juga akan beroleh dosa? Maka begitu
jugalah halnya kalau dia lepaskan pada yang halal, dia pun akan
beroleh pahala." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam satu riwayat dikatakan:
"Barangsiapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk
menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk
mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih
(membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah
(di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam
purnama." (Riwayat Thabarani)
Begitulah, setiap perbuatan mubah yang dikerjakan oleh seorang mu'min, di
dalamnya terdapat unsur niat yang dapat mengalihkan perbuatan tersebut
kepada ibadah.
Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya
niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak
dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai
alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya
menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syariat
Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul
wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau suatu
prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal
bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan
bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebaliknya, setiap
tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Oleh karena itu, barangsiapa mengumpulkan uang yang diperoleh dengan
jalan riba, maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat
dikategorikan haram, dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk
terlaksananya rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak
akan menjadi syafaat baginya, sehingga dengan demikian dosa haramnya itu
dihapus. Haram dalam syariat Islam tidak dapat dipengaruhi oleh tujuan dan
niat.
Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w.,
sebagaimana disabdakan:
"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali
yang baik pula. Allah pun memerintah kepada orang mu'min
seperti halnya perintah kepada para Rasul."
Kemudian Rasulullah membacakan ayat:
"Hai para Rasul! Makanlah dari yang baik-baik (halal) dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya aku Maha Mengetahui
apa saja yang kamu perbuat." (al-Mu'minun: 51)
"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari barang-barang
baik yang telah Kami berikan kepadamu." (al-Baqarah: 172)
"Kemudian ada seorang laki-laki yang datanq dari tempat yang
jauh, rambutnya tidak terurus penuh dengan debu, dia
mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: yaa rab,
yaa rab (hai Tuhanku, hai Tuhanku), padahal makanannya
haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi
makan dengan barang yang haram pula, maka bagaimana
mungkin doanya itu dikabulkan?" (Riwayat Muslim dan Tarmizi)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa mengumpulkan uang dari jalan yang haram
kemudian dia sedekahkan harta itu, samasekali dia tidak akan
beroleh pahala, bahkan dosanya akan menimpa dia " (Riwayat
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dan sabdanya pula:
"Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan
dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa
sedekahnya itu akan diterima; dan kalau dia infaqkan tidak juga
mendapat barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di belakang
punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai
perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan
menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan
dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat
menghapuskan kejelekan." (Riwayat Ahmad dan lain-lain)

1.7 Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram

1.7 Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram

SEBAGAIMANA Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat
membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga
Islam mengharamkan semua siasat (kebijakan) untuk berbuat haram dengan
cara-cara yang tidak begitu jelas dan siasat syaitan (yakni yang tidak
nampak).
Rasulullah pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu
kebijakan untuk menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram).
Maka sabda Rasulullah s.a.w.:
"Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan
kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah
walaupun dengan siasat yang paling kecil."9
Salah satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari
Sabtu, kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan
menggali, sebuah parit pada hari Jum'at supaya pada hari Sabtunya ikanikan
bisa masuk ke dalam parit tersebut, dan akan diambilnya nanti pada
hari Ahad.
Cara seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat
untuk melanggar larangan itu, tetapi oleh ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu
perbuatan haram, karena motifnya justeru untuk berburu baik dengan jalan
bersiasat maupun cara langsung.
Termasuk bersiasat (helah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan
nama lain, dan merubah bentuk. padahal intinya itu juga. Sebab suatu hal
yang tidak diragukan lagi, bahwa sedikitpun tidak, berarti untuk merubah
hukum hanya cukup dengan merubah nama, sedang bendanya itu-itu juga;
atau dengan merubah bentuk, padahal hakikat bendanya itu-itu juga.
Oleh karena itu pula, siapapun yang merubah bentuk dengan niat sekedar
siasat supaya dapat makan riba, atau membuat nama baru dengan niat
supaya dapat minum arak, maka dosa riba dan arak tidak dapat hilang.
Untuk itulah, maka dalam beberapa Hadis Nabi disebutkan:
"Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang
menganggap halal minum arak dengan memberikan nama
lain."10 (Riwayat Ahmad)
"Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal
riba dengan nama jual-beli."11
Adalah salah satu keganjilan di zaman kita sekarang ini banyak orang
menamakan tarian porno dengan nama seni tari, arak dinamakan minuman
rohani dan riba dinamakan keuntungan dan sebagainya

1.6 Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

1.6 Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

SALAH satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah
mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat
membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram.
Oleh karena itu, kalau Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua
pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu,
adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan perhiasan, berduaduaan
(free love), bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul),
kesopanan yang tidak teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegilagilaan
dan lain-lain.
Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah: Apa saja
yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.
Kaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa
perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara
langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua
orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masingmasing
mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang
arak, Rasulullah s.a.w. melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat
(pemeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan
seterusnya. Nanti insya Allah akan kami sebutkan.
Begitu juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang
memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya.
Begitulah, maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram,
hukumnya adalah haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada
orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga

1.5 Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

1.5 Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

SALAH satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang dibawakan untuk
kepentingan ummat manusia, ialah "Islam tidak mengharamkan sesuatu
kecuali di situ memberikan suatu jalan keluar yang lebih baik guna
mengatasi kebutuhannya itu." Hal ini seperti apa yang diterangkan oleh Ibnul
Qayim dalam A'lamul Muwaqqi'in 2: 111 dan Raudhatul Muhibbin halaman
10. Beliau mengatakan: Allah mengharamkan mereka untuk mengetahui
nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam,8 tetapi di balik itu Ia
berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari
untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan
suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi,
tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh
dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah juga mengharamkan
sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian
yang baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah
mengharamkan berbuat zina dan liwath, tetapi di balik itu Ia berikan
gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum
minuman keras, tetapi dibalik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang
lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah
telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits),
tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan
yang baik (thayyibat).
Begitulah, kalau kita ikuti dengan saksama seluruh hukum Islam ini, maka
akan kita jumpai di situ, bahwa Allah s.w.t. tidak memberikan suatu
kesempitan (baca haram) kepada hambanya, melainkan di situ juga dibuka
suatu keleluasaan di segi lain. Karena Allah samasekali tidak menginginkan
untuk mempersukar hambaNya dan membuat takut. Bahkan Ia berkehendak
untuk memberikan kemudahan dan kebaikan serta betas-kasih kepada
hambaNya. Sebagaimana difirmankan sendiri oleh Allah dalam al-Quran:
"Allah berkehendak akan menerangkan kepadamu dan
memberikan petunjuk kepadamu tentang cara-cara (sunnah)
yang dilakukan orang-orang sebelum kamu, dan Allah juga
berkehendak untuk menerima taubatmu, dan Allah adalah Zat
yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berkehendak
untuk menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti
keinginan hawa nafsunya itu berkehendak untuk berpaling
dengan palingan yang sangat. Allah (juga) berkehendak untuk
memberikan keringanan kepadamu, sebab manusia itu dicipta
dengan keadaan yang lemah." (an-Nisa': 26-27)

1.4 Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya

1.4 Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan
dan Bahaya


DI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi
nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan
haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan
perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat
manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang
harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga
berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan
halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan
manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu
kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.
Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada
orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka
atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap
larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:
"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua
binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami
haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di
punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang
tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja)
hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan
sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am:
146)
Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain,
yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
"Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu,
maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang
baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab
gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan
sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya;
dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang
batil." (an-Nisa': 160-161)
Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan
membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara
rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan
dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah
sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban
tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.
Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya
pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam
al-Quran:
"Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad)
tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas--
untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada
kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baikbaik,
dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta
mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada
pada mereka." (al-A'raf: 157)
Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan
mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang
di antaranya ialah:
1. Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat
menghapuskan dosa bagaikan air jernih yang dapat menghilangkan
kotoran.
2. Dengan mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalanamalan
yang baik itu dapat menghilangkan kejelekan.
3. Dengan bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat
menghapus dosa, bagaikan air yang dapat memadamkan api.
4. Dengan ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana
musibah dan percobaan itu dapat meleburkan kesalahan-kesalahan,
bagaikan daun pohon kalau sudah kering akan menjadi hancur.
Dengan demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu
yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh
bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat
hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau
manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.
Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah
berfirman:
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang
hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya
itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat
bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya."
(al-Baqarah: 219)
Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad
ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat
(yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya
baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena
pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal).
Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:
"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa
saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua
yang baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)
Dan firmanNya pula:
"Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik."
(al-Maidah: 5)
Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan
rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal
tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan
menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab
kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu
masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus
mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi).
Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi,
tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging
babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu
pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat
cacing pita dan bakteri yang membunuh.
Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat
dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya
sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya
daging babi itu justeru karena najis (rijsun).
Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:
"Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang
menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang
air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di
bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu
Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)
Pada abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena
kotor, yang tidak dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan
umum. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya,
maka akhirnya kita mengetahui, bahwa justeru tiga pelaknat di atas adalah
memang sangat berbahaya bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal
berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan
bilharzia.
Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi
lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui
halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia
adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan
Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah
dalam al-Quran:
"Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada
orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan
beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan
Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)

1.3 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

1.3 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama
dengan Syirik

KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan
halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada
mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat
berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu
pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang
sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang
karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama
yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan
berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah
dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan
tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang
berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran."
(Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran
(lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua
sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini
oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini
kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan
mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada
mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan
keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan
dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap
orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan
tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap
makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya.
Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah
melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk
berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang
sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina
beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta
tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka
peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani
muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut
al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan
sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti
apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan
saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya
itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan
buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka
katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan
tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini
disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka
katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut
tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini
disebut al-Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak
sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak
menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya
dalam kesesatan ini. Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah,
washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat
dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau
berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa
yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka
menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada
nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan
mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak
berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah :
103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail
terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang,
seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang
cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua,
dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah
(Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang
diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua
yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya?
(Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu
orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua
macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah
(Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang
diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am:
143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu
penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka
mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan
juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu
berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan
Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan
beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya
dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak
benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu
mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak
mengetahui." (al-A'raf: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang
diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat
kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-
Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk
masalah-masalah pokok dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orangorang
yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan
mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah
menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka
dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan
yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu
mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah
halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka
melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah
berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu
kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah:
87-88)

1.2 Menentukan Halal-Haram Semata-Mata Hak Allah

1.2 Menentukan Halal-Haram Semata-Mata Hak
DASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk
menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari
tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam
bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan
Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak
menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah
melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundangundangan
untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta
mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai
sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik".
Firman Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan
agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (as-
Syura: 21)
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah
memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan
halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:
"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya
sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam
(telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan
supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada
Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang
mereka sekutukan." (at-Taubah: 31)
'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada
waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia
mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya
mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.:
"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah
menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka
mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada
mereka." (Riwayat Tarmizi)
"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan
pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan
sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila
pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun
ikut mengharamkan juga."
Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah
memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu
penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka
hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai
berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat
di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas
di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."
Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani
mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya
sebagai berikut:
"Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah
telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan
sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah
Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu
hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59)
Dan firman Allah juga:
"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang
dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal
dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah,
sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas
(nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)
Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih
mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan
halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah
RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum
Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:
"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia
haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini
boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam
ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha
untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram
(mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).
Imam Syafi'i dalam al-Um5 meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid
Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para
ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini
halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran
dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.
Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-
Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia
pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang lakilaki
yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau
meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini
dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah
mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku
samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia."
Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah
menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan
tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya,
bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu,
mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita
katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang
kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama
juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram,
kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."6
Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang
sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu
tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak
menganggap dia itu baik.
Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam
Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.7

.1 Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah

.1 Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah
DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang
dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali
karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat
hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau
tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau
tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal
tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu
asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran
yang antara lain:
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di
bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
"(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di
langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya."
(al-Jatsiyah: 13)
"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah
memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apaapa
yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu
nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak."
(Luqman: 20)
Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada
manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya.
Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan
Dia kurniakannya?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat,
yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat
sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah
justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat
minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya,
adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori
yang dima'fukan Allah.
Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah
halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah
haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu
dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah
kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa
sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu
tidak lupa.2 (Riwayat Hakim dan Bazzar)
"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju
dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal
ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang
disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam
kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu
yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu
Majah)
Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan
menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu
kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah,
sedang lainnya halal dan baik.
Dan sabda beliau juga,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban,
maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia;
dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda
kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-
Nawawi)
Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah
halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah
perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu
yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam
masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang
oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan
firman Allah:
"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah
haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama
yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka
terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:
"Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin
dalam dua hal, yaitu:
1. Hanya Allah lah yang disembah.
2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang
disyariatkannya.
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul
dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang
harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah
yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi
manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini
tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui,
kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan
mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia, baik
yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk
kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka
butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya
pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah
dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara' itu sendiri."
Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi
kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan,
semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah
dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, keduaduanya
disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti
diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana
mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam
urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul).
Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau
ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan
termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan
agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?"
(as-Syura: 21)
Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang
terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian,
maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:
"Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang
diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu
jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah
Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang
berdusta atas (nama) Allah?" (Yunus: 59)
Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula
kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat
yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti
makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang
sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya,
diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak,
dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewamenyewa
sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'.
Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak
diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara'
kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang
oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut
kemutlakan hukum asal.3
Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
"Kami pemah melakukan 'azl'4, sedang waktu itu al-Quran
masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan
melarangnya."
Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah
terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang
melarang dan mencegahnya.
Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.
Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak boleh
dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum
adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan
oleh Allah."

BAB PERTAMA. POKOK-POKOK AJARAN ISLAMTENTANG HALAL DAN HARAM

BAB PERTAMA.
POKOK-POKOK AJARAN ISLAMTENTANG
HALAL DAN HARAM
PERSOALAN halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orangorang
jahiliah pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa,
sehingga mereka berani menghalalkan yang haram, dan mengharamkan
yang halal.
Keadaan yang sama pernah juga dialami oleh golongan penyembah berhala
(watsaniyin) dan ahli-ahli kitab.
Kesesatan ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang
ekstrimis kanan, atau suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri.
Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana Hindu, Para Rahib Kristen dan
beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa diri dan menjauhi hal-hal
yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang telah diserahkan
Allah kepada hambaNya.
Kedurhakaan para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad
pertengahan. Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga
sampai kepada sikap yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada
yang menganggap dosa karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi
dianggap dapat membawa kepada penyesalan dan kerugian.
Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya aliran Masdak yang
timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang sangat meluas.
Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang
dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada
masalah identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh
fitrah manusia.
Bangsa Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak
beresnya barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau
perbuatan. Oleh karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan
riba yang berlipat-ganda, menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari
itu, mereka juga telah dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin
dan manusia sehingga mereka tega membunuh anak mereka dan
mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu mereka turutinya juga.
Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya, samasekali ditentang.
"Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah
dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak
mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka
agama mereka. " (al-An'am : 137)
Para sekutu dari pelindung berhala itu melalui berbagai cara dalam
mengganggu kaum bapa untuk membunuh anak-anak mereka antara lain:
 takut miskin.
 takut tercela, kalau anak yang lahir itu wanita.
 demi bertakarrub kepada Tuhan, yaitu dengan mengorbankan anak.
Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang membolehkan
membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam hiduphidup,
tetapi justeru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang
baik-baik.
Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya sebagai
hukum agama. Mereka nisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh
Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:
"Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali
orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka
dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang
mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat
dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan
dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat." (al-An'am:
138)
Al-Quran telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan
sesuatu yang seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang
seharusnya halal; al-Quran mengatakan:
"Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak
mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan
mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah
berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama)
Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu
tidak mau mengikuti pimpinan." (al-An'am: 140)
Kedatangan Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidakberesan
tentang persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali
undang-undang yang dibuat guna memperbaiki segi yang sangat
membahayakan ini ialah dengan membuat sejumlah Pokok-pokok
Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan landasan guna
menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat
dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan;
keadilan dan keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat
dikembalikan.
Oleh karena itu ummat Islam menduduki sebagai golongan penengah
(ummatan wasathan) di antara ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri
sebagaimana telah ditegaskan sendiri oleh Allah; yaitu dengan dijadikan
ummat Islam ini sebagai ummat pilihan (khaira ummah) yang diketengahkan
ke hadapan ummat manusia.

DAFTAR ISI kitab ini

DAFTAR ISI
MUKADIMAH
PENDAHULUAN
BAB PERTAMA. POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG HALAL DAN HARAM
1.1 Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah
1.2 Menentukan Halal Haram Semata-mata Hak Allah
1.3 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama
dengan Syirik
1.4 Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan
dan Bahaya
1.5 Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram
1.6 Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram
1.7 Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram
1.8 Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram
1.9 Menjauhkan Diri dari Syubhat Karena Takut Terlibat dalam Haram
1.10 Sesuatu yang Haram Berlaku Untuk Semua Orang
1.11 Keadaan Terpaksa Membolehkan yang Terlarang
Catatan Kaki
BAB KEDUA. MAKANAN, PAKAIAN DAN RUMAH
2.1 Makanan dan Minuman
2.1.1 Menyembelih dan Makan Binatang dalam Pandangan Agama
Hindu
2.1.2 Binatang yang Diharamkan dalam Pandangan Yahudi dan
Nasrani
2.1.3 Menurut Pandangan Orang Arab Jahiliah
2.1.4 Islam Menghalalkan yang Baik
2.1.5 Diharamkan Bangkai dan Hikmahnya
2.1.6 Haramnya Darah yang Mengalir
2.1.7 Daging Babi
2.1.8 Binatang yang Disembelih Bukan Karena Allah
2.1.9 Macam-Macam Bangkai
2.1.10 Hikmah Diharamkannya Macam-Macam Binatang di Atas
2.1.11 Binatang yang Disembelih untuk Berhala
2.1.12 Ikan dan Belalang Dapat Dikecualikan dari Bangkai
2.1.13 Memanfaatkan Kulit Tulang dan Rambut Bangkai
2.1.14 Keadaan Darurat dan Pengecualiannya
2.1.15 Daruratnya Berobat
2.1.16 Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada
Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi
Keterpaksaannya Itu
2.1.17 Penyembelihan Menurut Syara'
2.1.17.1 Binatang Laut Semua Halal
2.1.17.2 Menyembelih Sebagai Syarat Halalnya Binatang
2.1.17.3 Syarat-Syarat Penyembelihan Menurut Syara'
2.1.17.4 Rahasia Penyembelihan dan Hikmahnya
2.1.17.5 Hikmah Menyebut Asma' Allah Waktu Menyembelih
2.1.17.6 Sembelihan Ahli Kitab
2.1.18 Berburu
2.1.18.1 Syarat yang Berlaku Untuk Pemburu
2.1.18.2 Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu
2.1.18.3 Alat yang Dipakai Untuk Berburu
2.1.19 Khamar (Arak)
2.1.19.1 Setiap yang Memabukkan Berarti Arak
2.1.19.2 Minum Sedikit
2.1.19.3 Memperdagangkan Arak
2.1.19.4 Seorang Muslim Tidak Boleh Menghadiahkan Arak
2.1.19.5 Tinggalkan Tempat Persidangan Arak
2.1.19.6 Khamar Adalah Penyakit Bukan Obat
2.1.20 Narkotik
2.1.20.1 Setiap yang Berbahaya Dimakan atau Diminum, Tetap Haram
2.2 Pakaian dan Perhiasan
2.2.1 Islam Agama Bersih dan Cantik
2.2.2 Emas dan Sutera Asli Haram Untuk Orang Laki-Laki
2.2.3 Hikmah Diharamkannya Emas dan Sutera Terhadap Laki-Laki
2.2.4 Hikmah Dibolehkannya Untuk Wanita
2.2.5 Pakaian Wanita Islam
2.2.6 Laki-Laki Menyerupai Perempuan dan Perempuan Menyerupai
Laki-Laki
2.2.7 Pakaian Untuk Berfoya-Foya dan Kesombongan
2.2.8 Berlebih-Lebihan Dalam Berhias dengan Mengubah Ciptaan Allah
2.2.9 Tatoo, Kikir Gigi dan Operasi Kecantikan Hukumnya Haram
2.2.10 Menipiskan Alis
2.2.11 Menyambung Rambut
2.2.12 Semir Rambut
2.2.13 Memelihara Jenggot
2.3 Dalam Rumah
2.3.1 Lambang-Lambang Kemewahan dan Kemusyrikan
2.3.2 Bejana Emas dan Perak
2.3.3 Islam Mengharamkan Patung
2.3.4 Hikmah Diharamkannya Patung
2.3.5 Bimbingan Islam dalam Mengabadikan Orang Besar
2.3.6 Rukhsah dalam Permainan Anak-Anak
2.3.7 Patung yang Tidak Sempurna dan Cacat
2.3.8 Lukisan dan Ukiran
2.3.9 Gambar yang Terhina Adalah Halal
2.3.10 Photografi
2.3.11 Subjek Gambar
2.3.12 Kesimpulan Hukum Gambar dan yang Menggambar
2.3.13 Memelihara Anjing Tanpa Ada Keperluan
2.3.14 Memelihara Anjing Pemburu dan Penjaga, Hukumnya Mubah
2.3.15 Pengetahuan Ilmu Modern Tentang Memelihara Anjing
2.4 Bekerja dan Usaha
2.4.1 Diamnya Orang yang Mampu Bekerja adalah Haram
2.4.2 Bilakah Minta-Minta Itu Diperkenankan?
2.4.3 Jaga Harga Diri dengan Bekerja
2.4.4 Bekerja dengan Jalan Bercocok-Tanam
2.4.5 Bercocok-Tanam yang Diharamkan
2.4.6 Perusahaan dan Mata-Pencaharian
2.4.7 Beberapa Usaha dan Mata-Pencaharian yang Diberantas oleh
Islam
2.4.7.1 Melacur
2.4.7.2 Tarian dan Seni Tubuh
2.4.7.3 Perusahaan Melukis, Membuat Salib dan Sebagainya
2.4.7.4 Perusahaan Minuman Keras dan Narkotik
2.4.8 Bekerja dengan Jalan Berdagang
2.4.9 Pendirian Gereja Tentang Masalah Dagang
2.4.10 Perdagangan yang Dilarang
2.4.11 Bekerja Sebagai Pegawai
2.4.12 Kepegawaian yang Diharamkan
2.4.13 Pedoman Secara Umum Tentang Bekerja
Catatan Kaki
BAB KETIGA. GHARIZAH, PERNIKAHAN DAN KELUARGA
3.1 Lapangan Gharizah
3.1.1 Jangan Dekat-dekat pada Zina
3.1.2 Pergaulan Bebas adalah Haram
3.1.3 Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat
3.1.4 Haram Melihat Aurat
3.1.4.1 Batas dibolehkannya Melihat Aurat Laki-Laki atau Perempuan
3.1.4.2 Perhiasan Perempuan yang Boleh Tampak dan yang Tidak
Boleh
3.1.4.3 Aurat Perempuan
3.1.5 Perempuan Masuk Pemandian
3.1.6 Menampak-nampakkan Perhiasan adalah Haram
3.1.7 Beberapa Hal yang Dapat Mengeluarkan Perempuan dari Batas
Tabarruj
3.1.8 Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
3.1.9 Hubungan Kelamin yang Tidak Normal adalah Berdosa Besar
3.1.10 Hukumnya Onani (Masturbatio)
3.2 Perkawinan
3.2.1 Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
3.2.2 Melihat Tunangan
3.2.3 Pinangan yang Diharamkan
3.2.4 Perawan Harus Diminta Izin dan Jangan Dipaksa
3.2.5 Perempuan yang Haram Dikawin
3.2.5.1 Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan
Susuan
3.2.5.2 Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan
Kekeluargaan Berhubungan dengan Perkawinan
3.2.5.3 Memadu Antara Dua Saudara
3.2.5.4 Perempuan-Perempuan yang Bersuami
3.2.5.5 Perempuan-Perempuan Musyrik
3.2.6 Kawin dengan Perempuan Ahli Kitab
3.2.7 Perempuan Muslimah Kawin dengan Laki-Laki Lain
3.2.8 Perempuan Zina
3.2.9 Kawin Mut'ah
3.2.10 Poligami
3.2.10.1 Adil Adalah Syarat Dibolehkan Poligami
3.2.10.2 Hikmah Dibolehkannya Poligami
3.2.11 Hubungan Suami-Isteri
3.2.12 Jalinan Perasaan Antara Suami-Isteri
3.2.13 Jangan Bersetubuh di Dubur
3.2.14 Menjaga Rahasia Isteri
3.2.15 Keluarga Berencana
3.2.15.1 Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana
3.2.16 Pengguguran (Aborsi)
3.2.17 Hak dan Kewajiban dalam Pergaulan Antara Suami-Isteri
3.2.18 Suami-Isteri Harus Sabar
3.2.19 Ketika Nusyuz dan Bersengketa
3.2.20 Cerai
3.2.20.1 Talaq Sebelum Islam
3.2.20.2 Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi
3.2.20.3 Talaq dalam Pandangan Agama Kristen
3.2.20.4 Pertentangan Sekte Kristen dalam Persoalan Talaq
3.2.20.5 Effek Pengekangan Agama Kristen dalam Persoalan Talaq
3.2.20.6 Penolakan Farid Dalam Persoalan Ini
3.2.20.7 Agama Kristen Hanya Obat Sementara, Bukan Syariat yang
Universal
3.2.20.8 Islam Membatasi Persoalan Talaq
3.2.20.9 Mencerai Perempuan Waktu Datang Bulan
3.2.20.10 Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram
3.2.20.11 Perempuan yang Dicerai Tetap Tinggal di Rumah Suami
Selama dalam Iddah
3.2.20.12 Talaq Harus Dijatuhkan Bertahap
3.2.20.13 Kembali dengan Baik atau Melepas dengan Baik
3.2.20.14 Tidak Boleh Menghalang-Halangi Perempuan yang Dicerai,
Untuk Kawin dengan Laki-Laki Lain
3.2.21 Hak Isteri yang Tidak Suka
3.2.22 Menyusahkan Isteri Hukumnya Haram
3.2.23 Bersumpah Untuk Menjauhi Isteri, Hukumnya Haram
3.3 Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak
3.3.1 Islam Memelihara Nasab
3.3.2 Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
3.3.3 Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam
3.3.3.1 Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?
3.3.3.2 Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan Praktik, Setelah
Dihapusnya dengan Perkataan
3.3.3.3 Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara
3.3.4 Pencangkokan Sperma (Bayi Tabung)
3.3.5 Menisbatkan Anak Kepada Selain Ayahnya Sendiri Menyebabkan
Laknat
3.3.6 Jangan Membunuh Anak
3.3.7 Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak
3.3.8 Menegakkan Hukum Waris dalam Batas Ketentuan Allah
3.3.9 Durhaka Kepada Dua Orang Tua, Dosa Besar
3.3.9.1 Membuat Gara-Gara yang Menyebabkan Dicacinya Dua Orang
Tua, Termasuk Dosa Besar
3.3.9.2 Pergi ke Medan Jihad Tanpa Izin Orang Tua, Tidak Boleh
3.3.9.3 Dua Orang Tua yang Musyrik
Catatan Kaki
BAB KEEMPAT. KEPERCAYAAN DAN TRADISI, MU'AMALAH, HIBURAN,
KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT
4.1 Masalah Kepercayaan dan Tradisi
4.1.1 Nilai Sunnatullah dalam Alam Semesta
4.1.2 Memberantas Ramalan dan Khurafat
4.1.3 Percaya Kepada Tukang Tenung, Kufur
4.1.4 Mengadu Nasib dengan Azlam
4.1.5 Sihir
4.1.6 Bertangkal
4.1.7 Tathayyur (Merasa Sial)
4.1.8 Memerangi Tradisi Jahiliah
4.1.9 Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam
4.1.10 Tidak Boleh Ada Pertentangan Lantaran Nasab dan Warna Kulit
4.1.11 Meratapi Orang yang Sudah Mati
4.2 Bagian Mu'amalah (Hubungan Pekerjaan)
4.2.1 Menjual Sesuatu yang Haram, Hukumnya Haram
4.2.2 Menjual Barang yang Masih Samar, Terlarang
4.2.3 Mempermainkan Harga
4.2.4 Penimbun Dilaknat
4.2.5 Mencampuri Kebebasan Pasar dengan Memalsu
4.2.6 Makelar Itu Sendiri Hukumnya Halal
4.2.7 Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram
4.2.8 Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami
4.2.9 Banyak Sumpah
4.2.10 Mengurangi Takaran dan Timbangan
4.2.11 Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas
dan Pencuri
4.2.12 Riba adalah Haram
4.2.12.1 Hikmah Diharamkannya Riba
4.2.12.2 Pemberi Riba dan Penulisnya
4.2.12.3 Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari
Berhutang
4.2.12.4 Menjual Kredit dengan Menaikkan Harga
4.2.12.5 Salam
4.2.13 Kerjasama dalam Suatu Pekerjaan dan Tentang Masalah Kapital
4.2.14 Syirkah antara Pemilik-Pemilik Modal
4.2.15 Asuransi
4.2.15.1 Apakah Asuransi dapat Digolongkan Yayasan Dana Bantuan
4.2.15.2 Sesuaikan dengan Islam
4.2.15.3 Asuransi Menurut Aturan Islam
4.2.16 Memanfaatkan Tanah Pertanian
4.2.16.1 Cara Pemanfaatannya
4.2.16.2 Muzara'ah yang Tidak Dibenarkan
4.2.16.3 Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan
dengan Uang
4.2.17 Syirkah dalam Memelihara Binatang
4.3 Tentang Hiburan
4.3.1 Sekedarnya Saja
4.3.2 Rasulullah s.a.w. adalah Manusia
4.3.3 Hati Itu Bisa Bosan
4.3.4 Macam-Macam Hiburan yang Halal
4.3.4.1 Perlombaan Lari Cepat
4.3.4.2 Gulat
4.3.4.3 Memanah
4.3.4.4 Main Anggar
4.3.4.5 Menunggang Kuda (Berpacu Kuda)
4.3.4.6 Berburu
4.3.4.7 Main Dadu
4.3.4.8 Main Catur
4.3.4.9 Menyanyi dan Muzik
4.3.5 Judi adalah Kawan Arak
4.3.6 Undian, Salah Satu Macam Judi
4.3.7 Nonton Film
4.4 Hubungan Masyarakat
4.4.1 Tidak Halal Seorang Muslim Menjauhi Kawannya
4.4.2 Mendamaikan Persengketaan
4.4.2.1 Jangan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain
4.4.2.2 Jangan Mencela Diri-Diri Kamu
4.4.2.3 Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik
4.4.2.4 Su'uzh-Zhan (Berburuk Sangka)
4.4.2.5 Tajassus (Memata-matai)
4.4.2.6 Ghibah (Mengumpat)
4.4.2.6.1.1 Karena suatu kepentingan
4.4.2.6.1.2 Karena suatu niat
4.4.2.7 Mengadu Domba
4.4.2.8 Melindungi Harga Diri
4.4.2.9 Kehormatan Darah
4.4.2.9.1 Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka
4.4.2.9.2 Dilindunginya Darah Kafir 'Ahdi dan Dzimmi
4.4.2.9.3 Bilakah Kehormatan Darah Itu Gugur?
4.4.2.9.4 Bunuh Diri
4.4.2.10 Melindungi Harta Benda
4.4.2.10.1 Menyuap, Hukumnya Haram
4.5 Hubungan antara Ummat Islam dengan Ghairul Islam
4.5.1 Tinjauan Khusus untuk Ahli Kitab
4.5.2 Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Wilayah
Pemerintahan Islam)
4.5.3 Bersahabat dengan Golongan Ghairul Islam dan Penganutnya
4.5.4 Orang Islam Minta Batuan Kepada Ghairul Islam
4.5.5 Islam Membawa Rahmat untuk Segenap Ummat Manusia Sampai
kepada Binatang
Catatan Kaki
PENUTUP
Catatan Kaki

PENDAHULUAN,tiga

Firman Allah:
"... RahmatKu meliputi segala sesuatu, maka akan Kutetapkan
dia itu untuk orang-orang yang taqwa dan mengeluarkan zakat
serta orang-orang yang mau beriman dengan ayat-ayatKu.
Yaitu orang-orang yang mau mengikuti Rasul, Nabi yang ummi
yang telah mereka jumpainya tertulis di sisi mereka dalam kitab
Taurat dan Injil. Nabi tersebut akan memerintah mereka untuk
beramar ma'ruf dan nahi mungkar, dan menghalalkan yang
baik, dan mengharamkan yang jelek dan menghilangkan dari
mereka beban yang berat dan belenggu yang ada atas mereka."
(al-A'raf: 156-157)
Undang-undang Dasar Islam tercermin dalam dua ayat yang kami bawakan
juga dalam kitab ini, yaitu:
"Katakanlah:Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan
Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan rezeki-rezeki
yang baik itu?" (al-A'raf: 32)
"Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan yang jelek, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan dosa, dan
kejahatan yang tidak benar, dan kamu menyekutukan Allah
dengan suatu yang Allah samasekali tidak menurunkan hujjah,
dan kamu mengatakan atas (nama) Allah sesuatu yang kamu
tidak tahu." (al-A'raf: 33)
Saya yakin, bahwa pentingnya persoalan Halal dan Haram menjadikan kitab
ini betapapun kecilnya telah dapat mengisi kekosongan literatur Islam yang
baru dan dapat memecahkan problema-problema yang kini sedang dihadapi
oleh ummat Islam, baik dalam kehidupannya sebagai perseorangan, rumah
tangga maupun masyarakat luas. Dan kiranya telah dapat menjawab seluruh
pertanyaan: apa yang dihalalkan buat saya? Dan apa pula yang diharamkan
atas diri saya? Apa hikmah diharamkannya ini dan dihalalkannya itu?
Akhirnya, tidak ada yang mampu saya katakan dalam mengakhiri
muqaddimah ini, melainkan saya harus berterimakasih kepada Syaihul Azhar
dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Islam yang telah memberi kepadaku
suatu kepercayaan untuk menulis persoalan tersebut pada pagi-pagi buta.
Dan saya pun mengharap: semoga apa yang saya tulis ini berarti saya telah
menunaikan kepercayaan itu dan merealisir apa yang dimaksud.
Dan kepada Allah jua saya memohon semoga kitab ini besar manfaatnya dan
memberinya kepadaku perkataan dan perbuatan yang benar, serta
menjauhkan saya dari fikiran dan pena yang melampaui batas, dan
mempersiapkan untuk suatu pimpinan dalam persoalanku ini. Sesungguhnya
Dia selalu mendengarkan doa!

PENDAHULUAN-2

Kini telah tiba waktunya untuk memulai rencana itu serta merealisir cita-cita
yang sangat dibutuhkan demi berda'wah kepada Islam dan hal ini meminta
diperhatikan dengan serius. Untuk mencapai langkah yang sangat baik ini,
harus kita bentuk suatu kelompok yang benar-benar sanggup
mempertahankan dan melaksanakannya baik di kalangan Al-Azhar sendiri
maupun di luar Azhar, dengan suatu permintaan kepada mereka ini supaya
mau menghadapi lebih serius diiringi suatu doa semoga mereka selalu
beroleh taufiq dari Allah.
Pokok persoalan yang diberikan kepada saya yaitu tentang masalah "HALAL
DAN HARAM DALAM ISLAM". Direktorat itu berpesan kepada saya agar saya
menulis persoalan tersebut dengan sederhana (sederhana) dan mudah
difahami serta diadakan comparative (perbandingan) dengan pandangan
agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain.
Barangkali nampaknya persoalan "HALAL DAN HARAM" untuk pertama
kalinya amat mudah, tetapi kenyataannya sangat sukar. Pengarangpengarang
di masa-masa yang telah lalu maupun yang belakangan ini belum
ada yang menulis secara khusus persoalan tersebut. Akan tetapi penulis
sendiri menjumpainya berserakan dalam beberapa bab di kitab-kitab Fiqih,
dan juga sebagiannya di kitab-kitab Tafsir dan Hadis.
Persoalan inilah yang mendorong penulis dengan serius untuk
memperhatikan beberapa persoalan yang oleh ulama-ulama dahulu
diperselisihkan hukumnya dan ditentang pula oleh pendapat-pendapat ahli
Hadis tentang persoalannya maupun alasan-alasannya.
Untuk mentarjih suatu pendapat lainnya dalam masalah halal dan haram
diperlukan suatu pembahasan dan penelitian yang lama sekali; disamping
penulis sendiri harus mengikhlaskan diri kepada Allah guna mencari yang
benar, sebagai suatu keharusan yang harus ditempuh manusia.
Saya melihat kebanyakan para penyelidik Islam di zaman modern ini hampirhampir
terbagi dalam dua golongan:
Golongan Pertama: pandangannya disambar oleh kilauan kebudayaan
barat; dan berhala yang besar ini ditakuti mereka sehingga kebudayaan itu
disembahnya. Dan untuk ini mereka lakukan dengan penuh pengorbanan
serta berdiri di hadapannya dengan menundukkan pandangannya dengan
penuh kerendahan. Cara berfikir dan tradisi barat ini mereka jadikan sebagai
suatu persoalan yang diterima yang tidak perlu ditentang dan diperdebatkan.
Kalau Islam itu sesuai dengan fikiran dan tradisi barat, mereka
menyambutnya; tetapi kalau bertentangan, mereka berusaha mencari jalan
untuk mendekatkan, atau beralasan dan menjelaskan, atau mentakwil dan
merubahnya, yang seolah-olah Islam itu diharuskan tunduk kepada
kebudayaan barat, filsafat barat dan tradisi barat.
Demikian menurut apa yang dapat kami tangkap dari pembicaraan mereka
tentang sesuatu yang diharamkan oleh Islam, misalnya: patung, lotre, rente
(riba), free love, penonjolan anggota wanita, laki-laki memakai emas dan
sutera dan sebagainya.
Dan begitu juga dalam pembicaraannya tentang sesuatu yang dihalalkan
Islam, misalnya: masalah talaq dan poligami. Yang seolah-olah apa yang
disebut halal dalam pandangan mereka; yaitu sesuatu yang dianggap halal
oleh Barat. Dan yang dikatakan haram, yaitu sesuatu yang dianggap haram
oleh Barat.
Mereka lupa, bahwa Islam itu Kalamullah (perkataan Allah), sedang
Kalamullah itu selamanya tinggi; dia diikuti, bukan mengikuti, dia tinggi tidak
dapat diatasi. Oleh karena itu bagaimana mungkin Allah akan mengikuti
hambaNya; bagaimana pula Khaliq (pencipta) mengikuti Makhluk (yang
dicipta)?
Firman Allah:
"Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka,
niscaya langit dan bumi ini serta makhluk yang didalamnya
akan rusak!" (al-Mu'minun: 71)
"Katakanlah Muhammad! Apakah di antara sekutu-sekutumu
ada yang dapat menunjukkan ke jalan yang benar? Katakanlah:
Allahlah yang menunjukkan ke jalan yang benar. Apakah Dzat
yang menunjukkan ke jalan yang benar itu yang lebih patut
diikuti ataukah orang yang tidak dapat memimpin kecuali
(sesudah) dia dipimpin (itu yang lebih patut diikuti)? Bagaimana
kamu berbuat begitu? Bagaimana kamu mengambil keputusan?"
(Yunus: 35)
Golongan Kedua: terlalu apatis, fikirannya beku dalam menilai beberapa
masalah halal dan haram, karena mengikuti apa yang sudah ditulis dalam
kitab-kitab, dengan suatu anggapan, bahwa itu adalah Islam. Pendapatnya
samasekali tidak mau bergeser, kendati seutas rambut; tidak mau berusaha
untuk menguji kekuatan dalil yang dipakai oleh madzhabnya untuk
dibandingkan dengan dalil-dalil yang dipakai orang lain, guna mengambil
suatu kesimpulan yang benar sesudah ditimbang dan diteliti.
Apabila mereka ditanya tentang hukumnya musik, nyanyian, catur, mengajar
perempuan, perempuan membuka wajah dan tangannya dan sebagainya,
maka omongan yang paling mudah keluar dari mulutnya ataupun penanya
yang bergores, adalah kata-kata haram.
Golongan ini lupa etika yang dipakai oleh salafus-shalih (orang-orang dulu
yang saleh), dimana mereka samasekali tidak pernah mengatakan haram,
kecuali setelah diketahuinya dalil yang mengharamkannya dengan positif.
Sedang yang belum begitu jelas, mereka mengatakan: "Kami membenci",
"Kami tidak suka", dan sebagainya.
Saya sendiri berusaha untuk tidak termasuk pada salah satu dari dua
golongan di atas.
Saya tidak rela --demi membela agamaku-- untuk menjadikan Barat sebagai
suatu persembahan, sesudah saya menerima Allah sebagai Tuhanku, Islam
sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Rasul!
Saya pun tidak rela --rasioku-- terikat dengan suatu madzhab, dalam seluruh
persoalan dan masalah, salah benar hanya mengikuti satu madzhab.
Seorang muqallid (ikut-ikutan) menurut Ibnul Jauzie: "Tidak dapat dipercaya
tentang apa yang diikutinya itu, dan taqlid itu sendiri sudah menghilangkan
arti rasio, sebab rasio dicipta buat berfikir dan menganalisa. Buruk sekali
orang yang diberi lilin tetapi dia berjalan dalam kegelapan."
Benar! Memang saya tidak akan berusaha untuk mengikatkan diriku pada
salah satu madzhab fiqih yang ada di dunia ini. Sebab kebenaran itu bukan
dimiliki oleh satu madzhab saja. Dan imam-imam madzhab itu sendiri tidak
pernah menganjurkan demikian. Mereka hanya berijtihad untuk mengetahui
yang benar. Jika ternyata ijtihad mereka itu salah, akan mendapat satu
pahala; dan jika benar, akan mendapat dua pahala.
Imam Malik r.a. berkata: "Setiap orang, omongannya boleh diambil dan
boleh juga ditolak, kecuali Nabi Muhammad s.a.w."
Imam Syafi'i r.a. berkata: "Apa yang saya anggap benar, mungkin juga
salah; dan yang saya anggap salah, mungkin juga benar."
Oleh karena itu tidak pantas seorang muslim yang berpengetahuan (alim)
dan memiliki peralatan untuk menimbang dan menguji, bahwa dia akan
menjadi tahanan oleh suatu madzhab, atau tunduk kepada pendapat seorang
ahli fiqih. Tetapi seharusnya dia mau menjadi tawanan hujjah dan dalil.
Selama dalil itu sah dan hujjahnya kuat, maka dialah yang lebih patut diikuti.
Kalau sanadnya itu lemah dan hujjahnya pun tidak kuat, dia harus ditolak
tidak memandang siapapun yang mengatakannya. Justeru itulah sejak pagipagi
Ali r.a. mengatakan: "Jangan kamu kenali kebenaran itu karena
manusianya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan kenal
orangnya."
Saya berusaha akan memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Kebudayaan
itu semaksimal mungkin. Dalam hal ini saya akan selalu menjuruskan kepada
masalah dalil, alasan dan partimbangan dengan bantuan analisa ilmiah dan
pengetahuan modern yang mutakhir. Dan alhamdulillah, bahwa Islam
memancar dengan membawa sejumlah dalil, karena Islam adalah agama
universal dan abadi, yaitu seperti dikatakan Allah:
"(Islam) adalah ciptaan Allah, dan siapakah yang lebih baik
ciptaannya selain Allah?" (al-Baqarah: 138)
HALAL DAN HARAM sudah lama dikenal oleh tiap-tiap ummat, sekalipun
masing-masing berbeda dalam ukurannya, macamnya dan sebab-sebabnya.
Kebanyakan dikaitkan dengan kepercayaan primitif, khurafat dan dongengdongeng.
Kemudian datanglah agama-agama Samawi yang besar-besar dengan
membawa berbagai peraturan dan rekomendasi tentang halal dan haram
yang mengangkat martabat manusia dari tingkatan khurafat, dongengdongeng,
dan hidup primitif, menjadi manusia yang mulia dan terhormat.
Akan tetapi sebagian yang halal dan haram itu disesuaikan dengan keadaan
dan kondisi, serta berkembang menurut perkembangan manusia itu sendiri
serta mengikuti perkembangan situasi dan kondisi.
Dalam agama Yahudi misalnya, ada beberapa hal yang diharamkan yang
bersifat preventif sebagai suatu hukuman Allah terhadap Bani Israel karena
kezaliman mereka. Hukum ini tidak dimaksudkan untuk berlaku selamalamanya.
Justeru itu al-Quran menuturkan perkataan Isa al-Masih kepada
Bani Israel sebagai berikut:
"(Bahwa aku) membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu
Taurat, dan supaya aku menghalalkan kepadamu sebagian yang
pernah diharamkan atas kamu." (ali-Imran: 50)
Setelah Islam datang, keadaan ummat manusia sudah makin meluncur,
maka sudah tepat pada waktunya Allah menurunkan agamaNya yang
terakhir itu. Hukum yang berlaku di kalangan ummat manusia ini ditutupnya
dengan syariat Islam yang komplit, menyeluruh dan abadi (universal).
Dalam hal ini dapat kita baca firman Allah yang berhubungan dengan
masalah haramnya makanan-makanan sebagai tersebut dalam surah al-
Maidah, yaitu sebagai berikut:
"Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu
dan telah Aku sempurnakan atas kamu nikmatKu, dan Aku telah
rela untukmu Islam sebagai agama." (al-Maidah: 3)
Cara berfikirnya Islam dalam persoalan halal dan haram sangat sederhana
dan jelas. Cara berfikir ini merupakan satu bagian dari amanat yang besar
yang tidak diterima oleh langit, bumi dan gunung dengan dalih semua tidak
sanggup memikulnya, tetapi kemudian manusia sanggup.
Amanat kewajiban Allah serta pertanggungan jawab manusia sebagai
khalifah di permukaan bumi ini, adalah merupakan suatu pertanggungan
jawab yang membawa konsekwensi dan merupakan dasar tindakan suatu
hukum bagi manusia apakah dia itu diberi pahala atau disiksa. Untuk itulah
maka manusia diberinya akal (rasio) dan berkehendak serta diutusnya para
Rasul dengan membawa kitab. Oleh karena itu dia tidak akan ditanya:
mengapa ada halal dan haram? Mengapa saya tidak membiarkan kendali itu
tetap lepas?
Ini benar-benar merupakan suatu ujian khusus untuk manusia mukallaf, dan
kiranya dengan itu manusia dapat berbeda dengan makhluk-makhluk Allah
yang semata-mata Roh seperti Malaikat dan yang semata-mata syahwat
seperti binatang, Dengan demikian manusia adalah makhluk tengah-tengah
yang dapat meningkat menjadi Malaikat atau lebih, atau meluncur seperti
binatang dan lebih rendah dari binatang.
Dan dari segi lain, bahwa halal dan haram beredar menurut perputaran
perundang-undangan Islam secara umum, yaitu suatu perundang-undangan
yang berdiri di atas landasan demi mewujudkan kebaikan untuk ummat
manusia dan menghilangkan beban yang berat serta mempermudah ummat
manusia.
Perundang-undangan Islam tetap menegakkan prinsip menghilangkan
mafsadah dan mendatangkan maslahah untuk segenap ummat manusia, baik
jasmaninya, jiwanya, rasionya, masyarakat keseluruhannya, yang kaya,
yang miskin, penguasa, rakyat, laki-laki, perempuan; dan maslahah untuk
seluruh macam manusia baik jenisnya, kulitnya, kebangsaannya, pada setiap
masa dan generasi.
Oleh karena itu tepat kalau agama ini datang dengan membawa rahmat yang
meliputi seluruh hamba Allah sampai pada akhir perkembangan manusia. Hal
ini telah dinyatakan Allah sendiri dalam firmanNya:
"Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan membawa
rahmat bagi segenap makhluk." (al-Anbia': 107)
Dan telah dinyatakan juga oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadisnya yang
berbunyi sebagai berikut:
"Saya hanya diutus sebagai rahmat dan membimbing. "
(Riwayat al-Hakim, dan disahkan oleh adz-Dzahabi)
Salah satu daripada bentuk rahmatNya ini ialah: dengan meniadakan dari
ummat ini semua macam penekanan, dosa-dosa karena melakukan yang
halal seperti yang diada-adakan oleh kaum watsaniyin dan ahli kitab,
sehingga mereka berani mengharamkan yang baik dan menghalalkan yang
jelek.

PENDAHULUAN-1

PENDAHULUAN
Direktorat Jenderal Urusan Kebudayaan Islam Universitas Al-Azhar meminta
kepada saya untuk memenuhi keinginan Universitas, agar saya menyusun
buku-buku kecil yang sederhana untuk diterjemah ke dalam bahasa Inggris,
guna memperkenalkan Islam kepada masyarakat Eropah dan Amerika,
khususnya ummat Islam di sana; di camping sebagai usaha da'wah untuk
orang luar Islam.
Rencana penyusunan buku-buku kecil sebagai tersebut, sangat baik sekali
yang sudah seharusnya direalisir sejak lama, sebab masyarakat Islam di
Eropah dan Amerika mengenal Islam hanya sedikit sekali. Sedang yang
sedikit itupun tidak lepas dari kekeliruan dan kesalahan.
Dalam waktu dekat, seorang rekan lulusan Al-Azhar yang dikirim ke salah
satu negara bagian USA mengirimkan surat kepada saya, ia mengatakan:
"Bahwa kebanyakan ummat Islam di negara ini mencari pencaharian dengan
membuka bar-bar dan memperdagangkan arak dengan tidak merasa bahwa
hal tersebut suatu dosa besar dalam pandangan hukum Islam."
Dalam suratnya itu dikatakan pula: "Bahwa laki-laki muslim di negara
tersebut banyak yang mengawini perempuan-perempuan Kristen dan Yahudi
--mungkin juga penyembah berhala-- dengan meninggalkan perempuanperempuan
muslimah, mereka ini banyak yang tidak laku, dan sebagainya
..."
Kalau demikian keadaannya ummat Islam, bagaimana lagi gerangan yang
bukan muslim? Mereka tidak mengenal hanya bentuk muka yang jahat
tentang Islam, Nabi Muhammad dan para pengikutnya dikenal dengan sifatsifat
yang tidak baik. Bentuk mana merupakan usaha-usaha propagandis
Kristen dan kaum penjajah yang berbisa, yaitu dengan merendahkan Islam
dalam berbagai seginya. Hal ini justeru terjadi di saat kita sedang lengah dan
lalai.

Halal dan Haram dalam Islam- MUQADDIMAH-1

TIADA kata yang paling indah dalam memuqaddimahi buku "Halal dan Haram
Dalam Islam" ini selain kata SYUKUR atas segala rahmat dan ma'unah yang
diberikan Allah s.w.t. kepada kami. Sehingga dengannya terjemahan ini
dapat kami selesaikan, tanpa suatu aral.
Menterjemahkan satu buku dari bahasa ke bahasa lain yang uslub dan
gramatikanya berbeda, bukan satu hal yang mudah. Padahal syarat
terjemahan itu harus dapat menyesuaikan dengan bahasa penterjemah,
tanpa mengurangi isi. Sedang untuk ini atau katakanlah apa yang dimaksud
oleh penulis dengan penterjemah sebagai orang yang memahami suatu
tulisan, sering terjadi persilangan, tidak seratus persen sama.
Justeru itu apa yang kami gambarkan di atas, tidak mustahil akan dijumpai
dalam buku ini, sekalipun usaha untuk menyesuaikannya itu telah kami
usahakan dengan seluruh kemampuan yang ada. Namun bagian-bagian
mana kekurangan dan kejanggalan itu, orang lainlah -tegasnya pembacalahyang
lebih mengetahui. Sebab seperti kata pepatah kita: "kuman di seberang
lautan tampak, gajah di kelopak mata tidak tampak."
Lebih tidak mustahil lagi, karena penterjemah ini adalah manusia yang serba
dhaif yang tidak luput dari khilaf.
Untuk itu, tegur-sapa serta kontrol dari pembaca sangat kami harapkan,
demi menjaga dari keberlarutan kesalahan yang justeru akan membawa
kepada kesalahan orang lain.
Kemudian tidak lupa pula terimakasih kepada para ustadz kami yang mulia
masing-masing Ustadz Ahmad Yazid, Ustaz Abdul Qadir Hassan dan Ustaz A.
Rahman Bahalwan yang bersedia memberikan bantuan kepada kami dalam
menterjemah buku ini, baik mengenai istilah-istilah maupun arti yang tepat,
dalam beberapa hal yang kami sendiri tidak mampu.
Juga sangat berterimakasih kepada yang terhormat Bapak M. Natsir ketua
DDII Pusat yang telah memberikan restu dan dorongan penterjemahan buku
ini.
Kepada Allah s.w.t. semua itu kami kembalikan. Semoga Ia berkenan
melimpahkan jaza'nya dengan jazaan hasanan.

Ternyata Flu Babi Bisa Sembuh Sendiri

Masyarakat diimbau tidak terlalu khawatir atas merebaknya kasus penyakit flu H1N1 atau virus influenza A subtipe H1N1, pasalnya jenis penyakit bisa sembuh sendiri terutama apabila kondisi tubuh stabil.

“Perlu sosialisasi dari semua pihak terkait bahwa flu babi tidak seganas flu burung dan penderita bisa sembuh sendiri apabila staminanya bagus, jadi jangan membuat warga panik,” kata Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) A. Wahab Sjahranie Samarinda, Aji Syirafudin di Samarinda, Sabtu (18/7).

Flu babi sebenarnya merupakan penyakit influenza yang disebabkan virus influenza A subtipe H1N1. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengkonfirmasi bahwa beberapa kasus flu babi yang muncul di Meksiko merupakan strain baru virus H1N1 yang belum pernah ditemukan.

Jadi, meski namanya flu babi, namun strain baru ini belum pernah ditemukan pada babi. Ancaman penyakit ini justru pada transmisi dari orang ke orang.

“Flu tersebut bisa sembuh sendiri tanpa harus mengkonsumsi obat seperti tamiflu dan lainnya, asalkan orang yang sudah terpapar virus itu kondisi tubuhnya dalam keadaan fit atau kuat, sehingga H1N1 tidak sanggup menginfeksi pada orang yang sudah terpapar,” katanya menjelaskan.

Virus akan menyerang jika tubuh dalam keadaan tidak fit atau tubuh sedang lemah kemudian terpapar virus tersebut dan tida mendapat pengobatan standar flu H1N1, maka bisa saja menyebabkan kematian.

“Hal itu bisa terjadi mengingat ketika sesorang dengan kondisi tubuh lemah kemudian terpapar virus tersebut, lantas tidak segera mendapat pertolongan, maka virus ini akan menyerang saluran napas sehingga penderita bisa mengalami sesak napas,” ujarnya.

Virus ini, lanjutnya, pada umumnya tidak seagresif virus flu burung (H5N1), namun H1N1 juga memiliki sifat yang sama, yakni bersifat merusak paru-paru.

Hanya saja, kata dia, tingkat kematian H1N1 hanya 0,5%, sementara tingkat kematian penderita yang terpapar H5N1 mencapai 75%.

Menurutnya, orang yang sudah terpapar H1N1 tidak bisa kebal terhadap penyakit itu, dalam arti suatu saat penyakit tersebut akan kambuh lagi jika kondisi badannya dalam keadaan lemah.

Salah satu upaya mencegah penularan virus itu, yakni selalu menjaga kondisi tubuh agar tetap fit dan sehat, misalnya dengan berolahraga dan mengkonsumsi makanan bergizi, termasuk banyak mengkonsumsi sayuran.

Jika orang yang sudah terpapar virus itu dan dinyatakan sembuh, maka ia tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Namun jika kondisi badan lemah dan penyakit itu kambuh lagi, maka virus H1N1 bisa saja menular kepada orang lain yang melakukan kontak langsung dengan penderita.

Yusuf Qaradhawi, Ulama Bijak dan Santun

Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi lahir di Desa Shafth, Turab, Provinsi Manovia, Mesir, pada 9 September 1926, pemikirannya telah banyak dikenal di Indonesia. Sekitar 70-an bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sudah lebih dari 125 judul buku dia tulis untuk menjawab berbagai persoalan terkini yang dihadapi umat. Tak hanya dikenal, fatwa-fatwa Qaradhawi juga mudah dicerna dan diterima berbagai lapisan umat.

Qaradhawi dikenal sebagai ulama yang selalu menampilkan Islam secara santun dan moderat. Hal ini membuat berbagai pemikirannya mampu menengahi persoalan-persoalan kontroversial yang kerap menghadirkan titik-titik ekstrem dalam pemikiran Islam. Pandangannya juga tidak terpatok pada satu mazhab pemikiran tertentu.

Pandangan yang seperti itu membuat umat Islam menjadi mudah dalam menjalankan agamanya. Pada hakikatnya, Islam memang agama yang memudahkan umat dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal inilah yang terus diterjemahkan Qaradhawi melalui berbagai fatwanya yang sangat mudah dicerna.

Tak hanya persoalan besar yang dibahas dalam buku-buku Qaradhawi. Hal-hal kecil yang kerap mengundang pertanyaan pun tak pernah lepas dari pemikirannya. Persoalan seperti jabat tangan pria-wanita, menonton televisi, hukum memotret, dan sebagainya, dibahas secara lugas dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa Kontemporer’.

Sedang dalam buku ‘Halal Haram dalam Islam’, Qaradhawi banyak memberi penjelasan tentang kedua hukum tersebut. Selain dengan makanan, persoalan halal dan haram dalam buku tersebut juga dikaitkan dengan pakaian, rumah, perdagangan, dan sebagainya. Semuanya dibahas sangat rinci dengan pandangan yang menengahi.

Ada lagi bukunya yang juga banyak dijadikan rujukan, yakni ‘Hukum-hukum Zakat’. Dalam buku ini, Qaradhawi memberi banyak penjelasan mengenai zakat profesi yang sempat menjadi persoalan yang cukup dibicarakan keabsahannya.

Dengan rujukan hadis yang sangat lengkap, penjelasannya soal zakat profesi ini menjadi sangat argumentatif. Persoalan zakat ini memang telah lama menjadi perhatian khusus Qardhawi. Bahkan untuk mendapatkan gelar doktor pada 1972, dia menyusun desertasi berjudul ‘Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan’. Desertasi ini kemudian disempurnakan menjadi Fikih Zakat.

Selain dikenal moderat, ulama yang pernah aktif dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin ini juga bersikap sangat tegas terhadap kesewenang-wenangan Barat terhadap dunia Islam. Dia ikut menyerukan untuk memboikot produk-produk AS, karena pemerintahan negara tersebut yang banyak berbuat sewenang-wenang terhadap dunia Islam.

Eksekusi hukuman gantung terhadap Saddam Hussein juga dikecamnya. Dalam khutbah yang dikutip Gulf Times, dia mengatakan eksekusi yang berlangsung bersamaan dengan perayaan Idul Adha tersebut sangat mengerikan dan sama sekali tidak Islami. “Saya tidak pernah menjadi pendukung Partai Baath atau pendukung Saddam. Tapi saya tidak bisa terima cara yang ditempuh untuk mengeksekusi Saddam,” tutur ayah tujuh anak itu. Dia menilai, kematian tersebut telah membuat Saddam menang dalam merebut hati dan simpati umat manusia.

Sebagai ulama yang sangat moderat, dia juga membebaskan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan. Salah seorang putrinya berhasil meraih doktor dalam bidang nuklir dari perguruan tinggi di Inggris. Putrinya yang lain juga meraih gelar doktor kimia dari kampus di Inggris. Ada juga anaknya yang menempuh pendidikan di AS. Ini menjadi bagian dari sikapnya yang tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dia menganggap pembedaan itu menjadi salah satu penghambat kemajuan dunia Islam.

AHLAN WA SAH LAN IN My WEB

Saya memang bukan orang kaya,
Bisa jadi saya memang orang miskin
Tapi biarlah saya miskin harta asal kami kaya hati
Biarlah saya tidak kaya harta asal jangan miskin hati
Dengan hati ini saya mengabdi, mengemban amanah
Dengan hati ini saya mendedikasikan diri pada jalan dakwah
Dengan hati ini saya berjanji untuk tidak mengingkari
Dengan hati ini saya memohon pada ILLAHI,
Semoga diberkahi dan di ridloi
Di situs inilah saya gambar kan cita-cita kami,
Mengoftimalkan kemampuan diri guna mencapai
li ‘ila’i kalimatillah di muka bumi ini
Silahkan teliti, kami akan sangat senang dikoreksi.

Wassalam dari kami
sie Rohani RW 29-CIBEUREUM

Info buku

Info buku
Ini yang Anda Butuhkan

Amaliah Yaumin Fihayati

A.Y.F fhoto colection