Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (II) Penulis: Ustadz Idral Harits (murid Syaikh Muqbil Yaman)
Dalam kitab
yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr
ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan
membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim
menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al
bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu
berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya :
“Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari
kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab :
“Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah!
Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim
menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab
yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras
atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak
mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas
pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan
ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.
Dan tentunya jawaban beliau ini
akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang
ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan
bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan
sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)
Ibnu Baththah Al Ukbari
(ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya
beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan
dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi
yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah
orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan
kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)
Asy Sya’bi mengatakan bahwa
orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas
untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91
dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)
Fudhail bin ‘Iyadl
mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’
halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)
Dalam kitab yang sama (halaman
318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah
: “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi
rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi
khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr
berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi
juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada
perzinaan.”
Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan
bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman
307)
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada
guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan
akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik
itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa
Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar)
kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :
[ … oleh karena itu saya pun
ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan
hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama
yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang
selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain
musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum
Mukminin. Allah ta’ala berfirman :
“Dan siapa yang menentang Rasul
setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya
kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami
masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat
kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]
Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi)
menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya.
Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia
penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika
beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian)
penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain
musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”
Imam Abu Hanifah dan
Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An
Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya
sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab
Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas
dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang
menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan
sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada
kefasikan, dan ditolak persaksiannya.
Intisari perkataan mereka adalah :
Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang
menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan
meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan)
kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Mereka (ulama madzhab
Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di
rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang
bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan
tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika
tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban
ini.”
Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa
Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al
ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan
sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia
adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.
Para shahabat Imam Syafi’i
yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari
dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan
mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i)
mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari,
Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi
rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman
301)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya
menyatakan :
“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah
bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika
terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram,
demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak
ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi
pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan
keduanya (nyanyian dan musik).
Adapun persaksian yang dapat diterima
beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana
hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’
Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci
tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan
meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar
seluruh alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab
itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah
semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang
meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil
keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam
perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman
303)
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari
pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil
Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap
keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah
terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman
303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata
: “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq,
mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia --dengannya-- dari Al
Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam
Mawaridul Aman halaman 304)
Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari
(seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) :
“Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam
berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika
mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu
menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman
54)
Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan
‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, --padahal at
taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap
dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu
atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu--, maka bagaimana pula ucapan
beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau
bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala
perkara yang diharamkan?!
Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan
Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan
kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman
305)
Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian
itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka
(penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman
52)
Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan
manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang
bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan
jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk
tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan
perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian
mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk.
Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.”
(Muntaqa Nafis 307)
Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman
halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi
menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya,
sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh,
mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati
penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”
Beliau
melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai
pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan
tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan
air.”
Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan
menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena
sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati,
selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan
sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa
nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah
dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan
(syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al
Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan.
Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan
dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap
syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan
menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada
hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.
Oleh karena itu, ketika kita
melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan
akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan
tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah
akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan
kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira
menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza
wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia
(iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan
musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”
Akhirnya, ia akan menganggap baik
hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka
sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah
dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi
orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu,
menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan
berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang
merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang
gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan
kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”
Warisan
yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap
bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini
terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan
menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.
Oleh sebab
itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat
kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.
Adapun
rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan
yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)
Penyanyi
maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan
membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka.
Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia
seorang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa
cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh
gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan
Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta
hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan
kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya.
Inilah intinya nifak.
Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman
adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan
yang haq (taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil
Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan
amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.
Salah satu ciri
kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat,
kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim
dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini
:
“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan
malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah
kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)
Akhirnya, dalam kenyataan saat ini
kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah
sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun
di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya,
kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi
lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan
sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati,
sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan
gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan :
“Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan
keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa
menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan
dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta
pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul
Aman 322-323)
Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang
menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap
Allah ta’ala.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
[1] Orang yang jika
mengajarkan sesuatu mudah diterima dan
dipahami.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar