Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I) Penulis: Ustadz Idral Harits (murid Syaikh Muqbil Yaman)
Hati bagaikan
seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari
hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh
ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan
sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari
1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu
'anhuma)
Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi
kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan
memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan
dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan
musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi
seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera
yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan
zina.
Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti
gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya
apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera
ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya,
kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk
gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya
pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul
rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul
perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba
bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!
Alangkah
indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :
Ketika dibacakan Al
Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka
terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri,
mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena
Allah.
Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan
terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk
membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak
tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Dan
alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh
warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan
hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik
dari Allah ta’ala.
Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan
para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang
masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui
Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna
harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang
selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)
Pengertian Al Ghina’ dan Al
Ma’azif
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47
: “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang
semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al Qamus (halaman
1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”
Imam Ahmad Al
Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan
tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang
pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga
dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam
Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)
Al ma’azif adalah jamak
dari mi’zaf.
Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al
malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis
kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan
dengan duf-duf.
Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi)
dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani
halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan
bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak
diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz Dzahabi dalam As
Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan
bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan
untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal,
terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani
halaman 79)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’
Dengan definisi yang
telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok
:
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai
aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan
sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan
bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan
kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’,
lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan
rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan
permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’
halaman 47-49)
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang
pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji,
hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang
wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian
ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab)
apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat
untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau
yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq
:
Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan
tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan
kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.
Dan
yang lain, misalnya :
Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau
tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari
makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.
Imam Ahmad Al
Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini
termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang
dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang
Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap
tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang
mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari
kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)
Nyanyian di kalangan
orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa
mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas
yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali
Hasan halaman 290)
Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para
biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang
mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair,
kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut,
dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta
menggairahkannya.
Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya
diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu :
Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman
50)
Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan
Memakruhkan
Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang
yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan
As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan
pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan
dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang
menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR.
Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419,
1421)
Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para
pencela.
Dalil-Dalil Dari Al Qur’an
1. Firman Allah Ta’ala
:
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk
menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi
mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Al Wahidi dalam
tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits”
dengan “nyanyian”.
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu
'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an,
penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya. Hal itu ditegaskan
pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping
diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh
orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap
agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10
dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)
Dengan adanya doa ini,
para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan
Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).
Juga pernyataan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :
“Sesungguhnya ia
pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)
Ibnu Mas’ud
menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada
sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”
Riwayat ini
shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim
‘alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan
Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli
Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih
permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik
daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini
banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat
Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)
2. Firman Allah ta’ala :
“Dan
hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al
Isra’ : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya
adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan
bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia
kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)
Mujahid --dalam kitab
yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al
bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri
bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.
3.
Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran.
Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm :
59-61)
Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’
menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan,
mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”
Ibnul Qayyim
menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as
sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang
mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan
diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut
terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap
tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)
Imam Ahmad Al Qurthubi
menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan
diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai
sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)
Dalil-Dalil
Dari As Sunnah
1. Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sungguh akan
ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr,
dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
2. Dari Abi Malik
Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda
:
“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang
mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena
alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke
dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari
dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat
Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)
3. Dari Anas bin
Malik berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:
Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling
(musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan)
ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu
Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al
Albani halaman 51-52)
4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya saya
tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang
menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu
bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika
mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan
syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri,
dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)
5. Dari Ibnu
Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan--
khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu
Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam
Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)
6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan terjadi pada
umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan
: “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau
menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan
diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan
lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)
7. Dari Nafi’ maula
Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling
gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan
lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan
ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya
dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
“Kulihat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti
ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad
hasan)
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304)
mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan
mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus,
maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman
beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”
Dan Imam Ahmad Al
Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan
hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir
sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam
hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi
maupun yang mendengarkanya.”
Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari
menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan
khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat
musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’
halaman 67-69) Atsar ‘Ulama Salaf Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini
dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al
Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga
dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.
Dalam Al Muntaqa
halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika
seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut
menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu
memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.”
(Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya
shahih)
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar
ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi,
ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan
ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan
membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak
ini.”
(Bersambung ke vol
II)
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar