Hukum Nasyid 1
Soal:
Bagaimana hukum terhadap nasyid yang sekarang ini
beredar dan berkembang di tengah-tengah masyarakat (ikhwan dan akhwat). Jika
diperbolehkan, apa syarat dan dalilnya apa? Tolong juga sertakan fatwa-fatwa
para ulama tentangnya.
Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kami
sampaikan bahwa mayoritas ulama -termasuk imam empat- berpendapat haramnya
memainkan alat musik. Bahkan dalam hal ini tidak diketahui adanya khilaf
(perbedaan pendapat) di kalangan Salaf. Walapun ada sebagian Khalaf
membolehkannya, namun yang benar adalah pendapat Salaf. Diantara dalil yang
mereka bawakan ialah:
Dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari, dia berkata: Abu
'Amir atau Abu Malik Al Asy'ari telah menceritakan kepadaku, demi Allah dia
tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Nabi bersabda, "Benar-benar akan
ada beberapa kelompok orang dari umatku akan menghalalkan kemaluan, sutera,
khamr, dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang benar-benar akan singgah
ke lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang miskin
mendatangi mereka untuk satu keperluan, lalu mereka berkata, 'Kembalilah kepada
kami besok'. Kemudian Allah menimpakan siksaan kepada mereka pada waktu malam,
menimpakan gunung (kepada sebagian mereka), dan merubah yang lainnya menjadi
kera-kera dan babi-babi sampai hari kiamat."[Hadits shahih, riwayat Bukhari
dalam Shahih-nya, kitab Al Asyribah; dan lainnya).
Ibnu Hazm men-dhaifkan hadits ini -dan
diikuti oleh
sebagian orang sekarang- dengan anggapan, bahwa sanad hadits ini terputus antara
Bukhari dengan Hisyam bin 'Ammar.
Hal ini tidak benar, karena Hisyam adalah syaikh (guru)
Imam Bukhari. Selain itu banyak perawi lain yang mendengar hadits ini dari
Hisyam. [Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 38-51, karya Syaikh Al
Albani.]
Maka jika nasyid itu diiringi alat musik, maka hukumnya
haram. Permainan alat musik yang dikecualikan dari hukum haram, hanyalah rebana
yang dimainkan oleh wanita pada saat hari raya atau sewaktu walimah pernikahan.
Dengan syarat, isi nyanyiannya tidak mengandung kemungkaran atau mengajak kepada
kemungkaran
Adapun nasyid yang tidak diringi alat musik, maka di
bawah ini diantara fatwa para ulama sekarang:
Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani.
Beliau membicarakan masalah nasyid ini dalam kitab
Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 182-182. Sebelum menyampaikan masalah nasyid, beliau
menjelaskan tentang nyanyian Shufi. Karena eratnya hubungan antara keduanya.
Kami akan meringkas pokok-pokok yang disampaikan Syaikh tentang nyanyian Shufi.
Kemudian, kami akan menukilkan penjelasan Beliau tentang
nasyid.
Beliau menyatakan, bahwa kita tidak boleh beribadah
kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah, sebagai realisasi syahadat Laa
ilaaha illa Allah. Dan kita tidak boleh beribadah atau mendekatkan diri kepada
Allah, kecuali dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sebagai realisasi
syahadat Muhammad Rasulullah. Dan kecintaan Allah hanya dapat diraih dengan
mengikuti Nabi Muhammad.
Kemudian beliau berkata, "Jika hal ini telah diketahui,
maka berdasarkan sabda Nabi: Agama itu nasihat. [HR Muslim dari Tamim Ad Dari.]
Aku merasa berkewajiban mengingatkan saudara-saudara kami yang tertimpa musibah
(karena) memperdengarkan atau mendengarkan nyanyian Shufi, atau yang mereka
sebut 'nasyid-nasyid keagamaan', dengan nasihat sebagai
berikut:
Pertama. Termasuk perkara yang tidak diragukan dan tidak
samar oleh seorang 'alim-pun, dari kalangan ulama kaum muslimin yang mengetahui
dengan sebenarnya terhadap fiqih Al Kitab dan As Sunnah, serta manhaj Salafush
Shalih. Bahwa nyanyian Shufi merupakan perkara baru, tidak dikenal pada
generasi-generasi yang disaksikan kebaikannya. [Yaitu generasi sahabat, tabi'in
dan tabi'ut tabi'in.]
Kedua. Sesungguhnya, termasuk perkara yang sudah
diterima (perkara pasti) di kalangan ulama, bahwa tidak boleh mendekatkan diri
kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh
Rasulullah.
Ketiga. Termasuk perkara yang pasti di kalangan ulama,
(yaitu) tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang tidak
disyari'atkan oleh Allah, walaupun pada asalnya hal itu disyari'atkan.
Contohnya: adzan untuk shalat dua hari raya (padahal disyari'atkan adzan
hanyalah untuk shalat wajib-pen); shalat raghaib; shalawat di saat bersin; dan
lain-lain.
Jika (ketiga) hal itu telah diketahui, maka mendekatkan
diri kepada Allah dengan perkara yang diharamkan Allah (seperti orang-orang
Shufi yang bermain musik untuk mendekatkan diri kepada Allah, pen.) lebih utama
sebagai hal yang diharamkan, bahkan sangat diharamkan. Karena dalam masalah
tersebut terdapat penyelisihan dan penentangan terhadap syari'at. Bahkan, pada
nyanyian Shufi terdapat perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir; dari
kalangan Nashara dan lainnya.
Oleh karena itu para ulama -dahulu dan sekarang- sangat
keras mengingkari mereka." [Diringkas dari kitab Tahrim Alat Ath Tharb, hal.
158-163.]
Kemudian Syaikh Al Albani menukilkan perkataan para
ulama yang mengingkari nyanyian Shufi tersebut. Setelah itu beliau menjelaskan
masalah nasyid, dengan menyatakan,"Dari fashl ke tujuh, telah jelas (tentang)
sya'ir yang boleh dinyanyikan dan yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas pada
(keterangan) yang sebelumnya, tentang haramnya semua alat musik, kecuali rebana
untuk wanita pada hari raya dan pernikahan.
Dan dari fashl yang terakhir telah jelas, bahwa tidak
boleh mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan apa yang telah
di-syari'atkan Allah. Maka, bagaimana mungkin dibolehkan mendekatkan diri
kepadaNya dengan sesuatu yang diharamkan?
Oleh karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian
Shufi. Sangat keras pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang
menghalalkannya.
Jika pembaca dapat mengingat-ingat prinsip-prinsip yang
kokoh ini di dalam fikirannya. Maka, jelaslah baginya -dengan sangat nyata-
bahwa tidak ada perbedaan hukum antara nyanyian Shufi dengan nasyid-nasyid
keagamaan.
Bahkan terkadang, dalam nasyid-nasyid ini terdapat cacat
yang lain. Yaitu, nasyid didendangkan dengan irama lagu-lagu tak bermoral,
mengikuti kaidah-kaidah musik dari Barat atau Timur, yang dapat membawa
pendengar untuk bergoyang, berdansa, dan melewati batas. Sehingga tujuannya
ialah irama dan goyang, bukan semata-mata nasyidnya. Hal seperti ini merupakan
penyelewengan yang baru. Yaitu menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang
tidak tahu malu.
Di sebalik itu, juga memunculkan penyimpangan lain.
Yaitu menyerupai orang-orang kafir dalam berpaling dan meninggalkan Al Qur'an.
Sehingga mereka masuk ke dalam keumuman pengaduan Rasulullah kepada Allah
tentang kaumnya, sebagaimana dalam firman Allah,
Berkatalah Rasul,"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah
menjadikan Al Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan." (QS Al
Furqan:30).
Aku (Syaikh Al Albani) benar-benar selalu ingat dengan
baik. Ketika aku berada di Damaskus -dua tahun sebelum hijrahku ke sini (Amman,
Yordania)- ada sebagian pemuda muslim mulai menyanyikan nasyid-nasyid yang
bersih (dari penyimpangan). Hal itu dimaksudkan untuk melawan nyanyian Shufi
(yang menyimpang), seperti qasidah-qasidah Al Bushiri dan lainnya. Nasyid-nasyid
itu direkam pada kaset. Kemudian tidak berapa lama, nasyid-nasyid itu diiringi
dengan pukulan rebana. Untuk pertama kalinya, mereka mempergunakannya pada
perayaan-perayaan pernikahan, dengan landasan bahwa rebana dibolehkan pada
pernikahan.
Kemudian kaset itupun menyebar dan digandakan menjadi
banyak kaset. Dan itupun tersebar penggunaannya di banyak rumah. Mulailah mereka
mendengarkannya malam dan siang, baik ada acara ataupun tidak. Jadilah hal itu
hiburan dan kebiasaan mereka. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena dominasi
hawa-nafsu dan kebodohan terhadap tipuan-tipuan syaitan. Sehingga syaitan
memalingkan mereka dari memperhatikan dan mendengarkan Al Qur'an, apalagi
mempelajarinya. Jadilah Al Qur'an sebagai sesuatu yang diacuhkan, sebagaimana
tersebut di dalam ayat yang mulia tadi.
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya 3/317,
"Allah berfirman memberitakan tentang RasulNya, NabiNya, Muhammad, bahwa beliau
berkata,'Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur'an ini sesuatu
yang tidak diacuhkan,' hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al
Qur'an dan mendengarkannya; Sebagaimana Allah berfirman,
Dan orang-orang yang kafir berkata,"Janganlah kamu
mendengar Al Qur'an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk
terhadapnya … " (QS Fushshilat:26).
Kebiasaan orang-orang musyrik dahulu, jika dibacakan Al
Qur'an, mereka memperbanyak kegaduhan dan pembicaraan tentang selain Al Qur'an.
Sehingga mereka tidak mendengarnya. Maka, ini termasuk sikap mereka yang
mengacuhkannya, tidak mengimaninya. Tidak meyakini Al Qur'an termasuk
mengacuhkannya. Tidak merenungkan dan memahami Al Qur'an termasuk
mengacuhkannya. Tidak mengamalkan Al Qur'an, tidak menjalankan perintahnya, dan
tidak menjauhi larangannya, termasuk mengacuhkannya. Dan menyimpang dari Al
Qur'an kepada selainnya, yang berupa sya'ir, pendapat, nyanyian, permainan,
perkataan, atau jalan (teori) yang diambil dari selainnya, termasuk mengacuhkan
Al Qur'an.
Maka kami mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah, Pemberi
karunia, Yang Maha Kuasa terhadap apa yang Dia kehendaki, agar membersihkan kita
dari apa-apa yang Dia murkai. Memudahkan kita mengamalkan apa yang Dia ridhai.
Berupa menjaga kitabNya, memahaminya, dan melaksanakan kandungannya, pada waktu
malam dan siang, sesuai dengan maksud yang Dia cintai dan ridhai. Sesungguhnya
Dia Maha Pemurah dan Pemberi."[Sampai disini nukilan dari Ibnu Katsir, sekaligus
selesailah perkataan Syaikh Al Albani. Tahrim Alat Ath Tharb,
hal.182-182.]
Bersambung .....Insya Allah
(sumber: Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun
VI/1423H-2003M)
Pendapat Syaikh Shalih bin Fauzan Al
Fauzan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan ditanya masalah ini,
dengan teks pertanyaan sebagai berikut: Banyak pembicaraan tentang nasyid-nasyid
Islami. Disana ada orang yang memfatwakan tentang bolehnya. Dan ada juga yang
menyatakan, bahwa nasyid-nasyid Islami itu sebagai ganti kaset-kaset lagu-lagu.
Maka, bagaimanakah pendapat anda (wahai Syaikh) yang
terhormat?
Beliau menjawab,Penamaan ini tidak benar. Itu merupakan
penamaan yang baru. Tidak ada yang dinamakan nasyid-nasyid Islami di dalam
kitab-kitab Salaf, dan para ulama yang perkataannya terpercaya. Yang telah
dikenal, bahwa orang-orang Shufi-lah yang telah menjadikan nasyid-nasyid sebagai
agama bagi mereka. Itulah yang mereka namakan dengan
samaa'.
Pada zaman kita, ketika banyak golongan-golongan dan
kelompok-kelompok, jadilah setiap kelompok memiliki nasyid-nasyid pemberi
semangat. Mereka terkadang memberinya nama dengan nasyid-nasyid Islami. Penamaan
ini tidak benar. Berdasarkan ini, maka tidak boleh memiliki nasyid-nasyid ini
ataupun meramaikannya di tengah-tengah orang banyak. Wabillahit taufiq.[Majalah
Ad Da'wah, no. 1632, 7 Dzulqa'dah 1418. Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil
Anasyid, hal. 37]
Pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
ditanya:
Apa hukum mendengarkan nasyid-nasyid? Bolehkah seorang
da'i mendengarkan nasyid-nasyid Islami?
Beliau menjawab, Aku sudah lama mendengar nasyid-nasyid
islami, dan tidak ada padanya sesuatu yang harus dijauhi. Tetapi, akhir-akhir
ini aku mendengarnya, lalu aku mendapatinya (telah) dilagukan dan didendangkan
menurut irama lagu-lagu yang diiringi musik. Maka nasyid-nasyid dalam bentuk
seperti ini, aku tidak berpendapat: orang boleh
mendengarkannya.
Namun, jika nasyid-nasyid itu spontanitas, dengan tanpa
irama dan lagu, maka mendengarkannya tidak mengapa. Tetapi dengan syarat, tidak
menjadikannya kebiasaan selalu mendengarkannya.
Syarat yang lain. Janganlah menjadikan hatinya (seolah)
tidak memperoleh manfaat, kecuali dengannya, dan tidak mendapatkan nasihat
kecuali dengannya. Karena dengan menjadikannya kebiasaan, maka ia telah
meninggalkan yang lebih penting. Dan dengan tidak memperoleh manfaat, serta
tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya, berarti ia menyimpang dari nasihat
yang paling agung. Yaitu, apa-apa yang tersebut di dalam kitab Allah dan Sunnah
RasulNya.
Jika terkadang ia mendengarkannya (nasyid yang tidak
mengandung larangan), atau ketika ia sedang menyopir mobilnya di perjalanan, dan
ingin menghibur dalam perjalanan, maka ini tidak mengapa.[Kitab Ash Shahwah Al
Islamiyyah, hal. 123. Disusun Abu Anas Ali bin Hasan Abu Luz; dinukil dari Al
Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 39]
Di tempat lain beliau berkata,Melagukan nasyid Islam
adalah melagukan nasyid yang bid'ah, yang diada-adakan oleh orang-orang Shufi.
Oleh karena inilah sepantasnya meninggalkannya, dan beralih kepada
nasihat-nasihat Al Qur'an dan As Sunnah.
Demi Allah, kecuali jika hal itu pada tempat-tempat
peperangan untuk mengobarkan keberanian dan jihad fii sabilillah, maka ini baik.
Jika nasyid itu diiringi dengan rebana (apalagi alat musik yang lain-pen), maka
hal itu lebih jauh dari kebenaran.[Dari Fatawa Aqidah, hal. 651, no: 369,
Penerbit Maktabah As Sunnah; Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid,
hal. 40.]
Pendapat Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad An
Najmi
Beliau berkata,Kritikan ke sembilan belas (terhadap
manhaj-manhaj dakwah yang ada di kalangan kaum muslimin, pen); Memperbanyak
nasyid-nasyid, pada waktu malam dan siang, dan menyanyikannya. Yaitu
melagukannya.
Aku tidak mengharamkan mendengarkan sya'ir, karena Nabi
pernah mendengarkannya. Tetapi mereka itu -dalam masalah nasyid- meniti jalan
orang-orang Shufi dalam nyanyian mereka -yang menurut anggapan mereka-
membangkitkan perasaan.
Ibnul Jauzi telah menyebutkan di dalam kitab Naqdul Ilmi
wal Ulama, hal. 230, dari Asy Syafi'i yang berkata,'Aku meninggalkan Iraq,
(sedangkan di sana) ada sesuatu yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang
munafiq, menyimpang). Mereka menyibukkan manusia dengannya dari Al Qur'an.
Mereka menamakannya dengan taghbiir.'
(Ibnul Jauzi menyatakan) Abu Manshur Al Azhari
mengatakan,'Al Mughbirah ialah satu kaum yang mengulang-ulang dzikrullah, doa,
dan permohonan (kepada Allah). Sya'ir tentang dzikrullah yang mereka nyanyikan
disebut taghbiir. Seolah-olah ketika orang banyak menyaksikan sya'ir-sya'ir yang
dilagukan itu, mereka bergoyang dan berdansa. Maka, merekapun dinamakan
mughbirah dengan makna ini.'
Az Zujaj berkata,'Mereka dinamakan mughbirin
(orang-orang yang melakukan taghbiir), karena mereka mengajak manusia zuhud dari
barang fana di dunia ini, dan mendorong mereka tentang
akhirat.'
Aku (Syaikh Ahmad bin Yahya) katakan: Perkara
orang-orang Shufi itu mengherankan. Mereka menyangka mengajak manusia zuhud di
dunia ini dengan nyanyian, dan mendorong mereka tentang akhirat dengan nyanyian.
Apakah nyanyian itu menyebabkan zuhud di dunia ini, dan mendorong masalah
akhirat? Atau sebaliknya itu yang benar?!
Aku tidak ragu, dan semua orang yang memahami dari Allah
dan RasulNya tidak meragukan. Bahwasanya nyanyian hanyalah akan mendorong kepada
dunia dan menjadikan zuhud terhadap akhirat, juga merusak
akhlak.
Dengan tambahan, jika mereka niatkan untuk mendorong
tentang akhirat, maka hal itu ibadah. Sedangkan ibadah, jika tidak disyari'atkan
oleh Allah dan RasulNya, maka merupakan bid'ah yang baru. Oleh karena inilah
kami katakan: Sesungguhnya nasyid-nasyid adalah bid'ah. [Dari kitab beliau Al
Mauridul 'Adzbil Zilal, hal. 196, diberi pengantar oleh Syaikh Rabi' bin Hadi
dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid,
hal. 42-43.]
Pendapat Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy
Syaikh
Adapun mendengarkan nyanyian-nyanyian yang dilagukan dan
qasidah-qasidah yang mengajak zuhud; inilah yang dinamakan pada zaman dahulu
dengan taghbiir. Hal itu, sejenis memukul kulit dan menyanyikan qasidah-qasidah
yang mengajak zuhud. Dilakukan oleh sekelompok orang-orang Shufi untuk
menyibukkan manusia dengan qasidah-qasidah yang mendorong kepada negeri akhirat
dan zuhud di dunia, meninggalkan nyanyian (umum), kemaksiatan, dan
semacamnya.
Para ulama telah mengingkari taghbiir dan mendengarkan
qasidah-qasidah yang dilagukan, yakni dengan lagu-lagu bid'ah. Lagu-lagu
orang-orang Shufi yang menyerupai nyanyian. Para ulama memandangnya termasuk
bid'ah. Alasan, bahwa hal itu bid'ah, (sudah) jelas. Karena hal itu ditujukan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal sudah diketahui, bahwa mendekatkan
diri kepada Allah tidak boleh kecuali dengan apa yang Dia syari'atkan. Inilah
qasidah-qasidah yang dilakukan pada zaman dahulu. Dan pada zaman sekarang
diambil oleh orang-orang Shufi. Ini adalah bid'ah, yang diada-adakan. Tidak
boleh melembutkan hati dengannya. [Dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil
Anasyid, hal. 44.]
Pendapat Syaikh Bakr Abu Zaid
Beribadah dengan sya'ir dan bernasyid dalam bentuk
dzikir, doa, dan wirid-wirid merupakan bid'ah yang baru. Pada akhir-akhir abad
dua hijriyah, orang-orang zindiq memasukkannya ke dalam kaum muslimin di kota
Baghdad dengan nama taghbiir. Asalnya dari perbuatan Nashara dalam
peribadahan-peribadahan mereka yang bid'ah dan nyanyian-nyanyian
mereka.
Bahkan jelas bagiku, bahwa beribadah dengan menyanyikan
sya'ir, mengucapkannya sebagai mantra, termasuk warisan-warisan paganisme Yunani
sebelum diutusnya Nabi Isa. Karena kebiasaan orang-orang Yunani dan orang-orang
musyrik yang lain mendendangkan nyanyian permohonan perlindungan dan
mantra-mantra kepada Hurmus di majelis-majelis dzikir.
Maka lihatlah, bagaimana bid'ah ini menjalar kepada
orang-orang Shufi yang bodoh dari kalangan kaum muslimin dengan sanad paling
rusak yang dikenal dunia, yaitu orang zindiq, dari orang Nashrani, dari orang
musyrik. Setelah ini, bolehkah seorang muslim menjadikan nasyid sebagai wirid,
tugas dalam dzikir, hijb, dan mantra? [Dari kitab Tash-hihud Du'a, hal. 96;
dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii Hukmil Anasyid, hal. 45.]
Sebelumnya, beliau juga menyebutkan bid'ah-bid'ah yang
banyak dilakukan oleh orang-orang yang berdzikir dan berdoa, sebagai
berikut:
· Bergoyang, bergerak, dan bergoncang di saat dzikir dan
doa, sebagaimana perbuatan orang-orang Yahudi.
· Dzikir dan doa dengan lagu-lagu dan irama-irama,
sebagaimana perbuatan orang-orang Yahudi.
· Dzikir dan doa dengan keras dan teriakan, sebagaimana
perbuatan orang-orang Shufi yang sesat.
· Beribadah dengan sya'ir dan bernasyid, sebagaimana
perbuatan orang-orang Shufi yang sesat.
· Tepuk tangan bersama dzikir dan doa, sebagaimana
perbuatan orang-orang musyrik, dan orang-orang Shufi yang sesat mengambil dari
mereka.[Dari kitab Tash-hihud Du'a, hal. 78; dinukil dari Al Qaulul Mufid Fii
Hukmil Anasyid, hal. 46.]
Demikianlah diantara fatwa-fatwa ulama tentang nasyid.
Semoga bermanfaat untuk kita semua.
(sumber: Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun
VI/1423H-2003M)
Topik / Fatwa
Hukum Nasyid (1)
Oleh Majalah As Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar